Senin, 31 Desember 2018

Aneka Souvenir Pouch

Kami menyediakan berbagai produk dari bahan kain katun dan kain kanvas, diantaranya yaitu:
1. Pouch katun
2. Pouch kanvas
3. Pouch vintage double katun
4. Pouch vintage double kanvas
5. Pouch vintage mix
6. Pouch triangle
7. Tempat tissue biasa
8. Tempat tissue travel pack
9. Pinchusion cupcakes
10. Pinchusion bunga
11. Pensil case

Sangat disarankan pemesanan H - 1,5 bulan sebelum acara, karena kuota produksi kami sebanyak 60.000 pcs setiap bulan.
Pastikan format ordermu sudah masuk ke dalam waiting list kami.

Harga mulai dari 2.400 (tergantung jenis dan ukuran)

Order : WA/SMS 083893202002
































Sabtu, 16 Mei 2015

Secarik coretan kecil semeru

Alhamdulillah 13-16 Mei 2015 akhirnya kaki kecil ini kembali mengantarkan aku menatap kekuasaanNya. Hampir tak percaya rasanya aku bisa menyaksikan langsung keindahan gunung semeru yg kemudian menjadi hits karena film 5 cm.
Berbeda dgn pendakian sebelumnya, pendakian kali ini begitu mengesankan, di samping karena bisa dibilang ini merupakan kado terindah di miladku, tgl 12 mei tepat keberangkatan kereta matarmaja dari jakarta ke malang aku menginjakkan kaki di usia 24 tahun, selain itu setidaknya ada 4 point penting yg bisa aku bawa pulang.

1. Adaptasi & jangan berhenti bergerak
Sekitar pukul 17.00 kami mulai tidur untuk persiapan summit ke puncak mahameru, pukul 23.30 kami mulai bergerak jalan menuju summit, sepanjang perjalanan dari kalimati - arcopodo - hingga ke trek pasir udara sangat dingin dan berangin, ditambah terdapatnya antrian menuju puncak karena cukup byk pendaki yg summit malam itu, yg menyebabkan aku hanya bisa diam menunggu antrian di depan mulai jalan. Tubuhku semakin dingin, tanganku mulai terasa kaku, aku hanya bisa menghirup hawa dingin itu dalam2 agar bisa masuk ke tubuh dan tubuh dapat beradaptasi dengan cuaca yg cukup ekstrim itu. Selain itu aku hanya mampu menggerak2an tangan dan kaki walau antrian di depan belum jg jalan, dan ternyata kedua hal tsb efektif membuat tubuhku lebih hangat dan tidak kaku.
Hikmah yg dapat diambil dlm hidup adalah jika kita ingin maju, tidak tertinggal, maka teruslah bergerak, jangan berhenti, tetaplah berusaha dan beradaptasi dengan kondisi sekitar agar kita tetap bisa berdiri.

2. Perbanyak proteksi diri
Tidak seperti malam sebelumnya saat ngecamp di ranukumbolo, malam itu saat akan summit aku menggunakan 3 lapis kaos panjang + 3 lapis jaket, 3 lapis kaos kaki, 2 lapis sarung tangan, penutup kepala & syal + geiter. Itu semua aku lakukan agar bisa bertahan dgn cuaca yg cukup ekstrim. Begitu pula hidup, perbanyaklah proteksi diri, perkuat spiritual, terutama iman, agar bisa bertahan dgn lingkungan yg rasanya mulai & semakin 'kacau'.

3. 4 langkah maju 2 langkah mundur
Setelah melewati arcopodo, trek yg harus ditempuh selanjutnya adalah lautan pasir, ya! trek tsb benar2 hanya pasir dan kerikil, saat aku mendaki lautan pasir tsb sekitar 4 langkah maju (naik) secara otomatis langkahku turun (mundur) sekitar 2 langkah karena pasir tsb tergerus.
Hidup seperti itu jg bukan? beberapa kali kita berusaha utk maju, kerap kali usaha tsb tdk berhasil, tapi bukankah 4 langkah maju 2 langkah mundur artinya kita sudah maju 2 langkah? So tetaplah berusaha, kegagalan adalah 1 paket dari usaha yg ditempuh, yakinlah pada akhirnya kamu akan sampai ke puncak walau dengan tertatih.

4. Puncak memang indah, tapi tak menjadi indah jika hanya bisa kamu nikmati sendiri
Saat trekking menuju summit, tim kami byk terpisah hingga akhirnya aku hanya trekking bersama seorang rekan, di tengah perjalanan di trek lautan pasir, mungkin tinggal setengahnya lg lautan pasir itu sampai puncak, kondisi rekan tsb mulai drop hingga akhirnya ia memutuskan utk kembali turun. Sempat aku dilema, apakah tetap naik ke puncak mengejar ambisi atau menemani ia kembali turun, memastikan ia selamat sampai kalimati, tempat kami ngecamp. Disitulah aku belajar mengendalikan egoisme, fokus pada tujuan utama, bukankah tujuan utama mendaki adalah kembali dgn selamat?
Puncak (keberhasilan dlm hidup) itu memang indah, tetapi tidak menjadi indah jika hanya bisa kamu nikmati sendiri, tanpa orang2 yg kamu sayangi.

Minggu, 06 Juli 2014

PENGARUH UKURAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK (KAP), UKURAN PERUSAHAAN, LEVERAGE DAN LIKUIDITAS TERHADAP KUALITAS LABA PADA PERUSAHAAN PROPERTI DAN REAL ESTATE YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)




 
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Peran laporan keuangan dewasa ini sangat penting dalam menunjang pengambilan keputusan ekonomi. Hasil survei Sulistiawan dan Feliana (2001) tentang sumber informasi yang paling relevan untuk pengambilan keputusan investasi saham di Indonesia, menunjukkan bahwa laporan keuangan dominan digunakan untuk kepentingan investor institusi dan analis saham/keuangan. Berdasarkan hasil survei tersebut, laporan keuangan tahunan menempati peringkat pertama sebagai dasar pengambilan keputusan bagi analis keuangan, begitu pula bagi institusi keuangan, di mana laporan keuangan interim menjadi informasi pertama yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 10). Data lengkap hasil survei terdapat dalam lampiran 1 (satu).
1
 
Adapun bagian laporan keuangan yang paling diminati oleh investor institusi dan analis keuangan yaitu terletak pada bagian laba bersih perusahaan (net income). Kecenderungan pemakai laporan keuangan yang lebih memusatkan perhatian pada laba perusahaan ini menyebabkan penyusun laporan keuangan berupaya untuk menjaga kestabilan laba. Hal ini kemudian menjadi pemicu terjadinya praktik creative accounting atau manajemen laba yang dapat mempengaruhi kualitas laba. Informasi laba yang tidak tepat tentunya akan merugikan pemakai laporan keuangan, karena dapat menyebabkan kesalahan dalam mengambil keputusan.
Creative accounting memungkinkan perusahaan untuk memilih metode, estimasi dan praktik akuntansi yang dapat memenuhi ekspektasi laba yang diinginkan manajemen. Dengan dasar akrual memungkinkan manajer untuk melakukan rekayasa laba guna menaikkan atau menurunkan angka akrual dalam laporan laba rugi.
Kelonggaran yang diberikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dalam memilih metode akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan, dapat dimanfaatkan perusahaan untuk menghasilkan nilai laba yang berbeda-beda di setiap perusahaan.
Praktik manajemen laba ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public maupun yang sudah go public. Di mana perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham perdananya melalui proses Initial Public Offerings (IPO) untuk memperoleh tambahan dana dari investor. Sementara perusahaan yang sudah go public bermotivasi untuk melanjutkan usaha dan ekspansi melalui penawaran kedua, penawaran ketiga dan seterusnya.
Terungkapnya kasus penggelembungan (mark up) laba bersih yang terjadi pada PT Kimia Farma Tbk, sebagaimana yang dimuat dalam situs koran tempo tanggal 21 November 2002, menjadi bukti maraknya praktik manajemen laba. Kasus PT Kimia Farma Tbk ini bermula dari ditemukannya kesalahan oleh partner dari KAP Hans Tuanakotta & Mustafa (HTM) dalam penilaian persediaan barang jadi dan kesalahan pencatatan penjualan untuk laporan keuangan periode 31 Desember 2001. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh BAPEPAM, ternyata laba bersih yang disajikan dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 overstated sebesar Rp 32,668 miliar, di mana laba bersih yang seharusnya Rp 99,594 miliar dicatat menjadi Rp 132,263 miliar. Kesalahan pencatatan ini ditemukan oleh kantor akuntan publik HTM menjelang pemerintah akan melakukan divestasi (pelepasan saham) tahap kedua di Kimia Farma pada Mei 2002. Sementara kesalahan pencatatan ditemukan pada laporan keuangan tahun 2001 yang digunakan saat pelaksanaan divestasi melalui penawaran saham perdana (IPO) (Syahrul: 2002, http://kumpulanberitalama. blogspot.com/2013/04/korantempo-bapepam-kasus-kimia-farma.html).
Fenomena tersebut senada dengan penelitian Gumanti (2001) tentang perilaku manajemen laba pada perusahaan manufaktur dengan periode amatan dua tahun sebelum go public. Hasilnya ditemukan bahwa terdapat praktik manajemen laba dalam seputar IPO. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan laba secara signifikan dari manipulasi aktivitas akrual pada dua tahun sebelum IPO pada perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Jakarta (sebelum menjadi Bursa Efek Indonesia) (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 35).
Kasus hampir serupa terjadi pada PT Indofarma Tbk, sebagaimana yang dimuat dalam situs koran tempo tanggal 8 Juli 2004, dan press release yang dikeluarkan oleh BAPEPAM pada tanggal 8 November 2004. Laporan keuangan yang disajikan PT Indofarma Tbk tahun 2001 terdeteksi overstated dalam penyajian nilai barang dalam proses yang mencapai Rp 28 miliar. Akibat kelebihan penyajian tersebut, nilai harga pokok produksi menjadi lebih rendah yang kemudian berdampak pada overstated laba bersih. (Riza: 2004, http:// kumpulanberitalama. blogspot. com/ 2012 /10 / korantempo - bapepam-temukan -indikasi.html.
Penelitian Herusetya (2009) belum dapat memberi bukti yang konsisten bahwa terdapat perbedaan dalam kualitas laba bagi perusahaan yang diaudit baik oleh auditor the big 4. Sementara penelitian Rachmawati dan Triatmoko (2007) menghasilkan ukuran KAP berpengaruh negatif terhadap discretionary accruals (kualitas laba). Di mana dengan meningkatnya kualitas audit maka perilaku oportunis manajer dapat dibatasi.
Ukuran perusahaan merupakan ukuran besar kecilnya perusahaan. Di mana ukuran perusahaan berhubungan dengan kualitas laba karena semakin besar perusahaan maka kelangsungan usaha (going concern) perusahaan semakin tinggi dalam meningkatkan kinerja keuangan. Sebagaimana penelitian Irawati (2012) yang menghasilkan struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan dan likuiditas berpengaruh terhadap kualitas laba.
Leverage merupakan rasio untuk mengetahui seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai oleh hutang. Leverage dapat mempengaruhi kualitas laba, karena jika aset perusahaan lebih banyak dibiayai oleh hutang, maka perusahaan dapat dinilai tidak dapat menjaga keseimbangan keuangan antara penggunaan dana dengan modal/dana yang tersedia. Dengan demikian, jika tingkat leverage semakin tinggi maka kualitas laba akan semakin rendah.
Likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi hutang jangka pendeknya dengan aset lancar yang dimiliki. Likuiditas dapat mempengaruhi kualitas laba, karena jika tingkat likuiditas perusahaan tinggi menunjukkan bahwa perusahaan mampu membayar kewajibannya, yang berarti kinerja keuangannya baik sehingga tidak perlu melakukan manajemen laba.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas terhadap kualitas laba. Sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), Ukuran Perusahaan, Leverage dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba pada Perusahaan Properti dan Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)”.
1.2  Permasalahan
Dalam suatu penelitian hal yang terlebih dahulu harus dilakukan yaitu menentukan permasalahan. Adapun masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1.2.1        Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :
1.      Apakah ukuran KAP berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
2.      Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
3.      Apakah leverage berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
4.      Apakah likuiditas berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
5.      Apakah ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas secara simultan berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
1.2.2        Pembatasan Masalah
Penelitian ini terbatas pada perusahaan properti dan real estate yang telah go public di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama kurun waktu pengamatan pada tahun 2008 sampai tahun 2012. Selain itu, penelitian ini terbatas untuk menguji apakah ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas berpengaruh dengan kualitas laba.
1.2.3        Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?”.
1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah  diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengaruh ukuran KAP terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
2.      Untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
3.      Untuk mengetahui pengaruh leverage terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
4.      Untuk mengetahui pengaruh likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
5.      Untuk mengetahui pengaruh secara simultan ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas secara simultan terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
1.4  Manfaat Penelitian
Di samping tujuan di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain sebagai berikut :
1.      Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
2.      Manfaat praktis
1). Bagi penulis
Sebagai wadah untuk menerapkan materi teoritis yang didapat dalam bangku perkuliahan dan memadukannya dengan praktik yang terjadi di lapangan.
2). Bagi calon investor
Diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan investasi di perusahaan.
3). Bagi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA
Sebagai bahan referensi di perpustakaan UHAMKA serta menambah informasi mengenai pengaruh ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
4). Bagi pihak lain
Sebagai bahan referensi tambahan bagi pembaca dan menambah pengetahuannya terutama mengenai pengaruh ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.


BAB II

 
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Gambaran Penelitian Terdahulu
9
 
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kualitas laba serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitiannya antara lain yaitu :
Agung Suaryana, Universitas Udayana Denpasar (2005) tentang Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien respon laba perusahaan yang membentuk komite audit lebih besar dari perusahaan yang tidak membentuk komite audit. Sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur dan non manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) untuk periode 2001 sampai dengan 2002. Hasil koefisien variabel Unexpected Earnings (UE), komite dan UE komite masing-masing sebesar 1,850, 1,570, dan 2,417. Tingkat signifikansi koefisien UE, komite dan UE komite masing-masing sebesar 0,065, 0,117 dan 0,016. Nilai t hitung UE komite kurang dari 0,05 menunjukkan adanya perbedaan secara statistis signifikan nilai ERC, antara perusahaan yang membentuk komite dan perusahaan yang tidak membentuk komite. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasar menilai laba yang dilaporkan oleh perusahaan yang membentuk komite audit memiliki kualitas yang lebih baik dari pada laba yang dilaporkan oleh perusahaan yang tidak membentuk komite audit.
Gideon Boediono, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (2005) tentang Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mekanisme corporate governance (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan komposisi dewan komisaris) terhadap manajemen laba dan kualitas laba. Sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan periode pengamatan tahun 1996 sampai dengan tahun 2002, sebanyak 96 perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba sebesar 0,3018. Secara parsial, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba dengan signifikansi masing-masing sebesar 0,2362, 0,1332 dan 0,0146. Hasil penelitian berikutnya menunjukkan mekanisme corporate governance  dan manajemen laba berpengaruh terhadap kualitas laba sebesar 0,4480. Secara parsial, variabel kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komposisi dewan komisaris dan manajemen laba berpengaruh terhadap kualitas laba dengan signifikansi masing-masing sebesar 0,0784, 0,2028, 0,0529 dan 0,0256.
Dhian Eka Irawati, Universitas Negeri Semarang (2012) tentang Pengaruh Struktur Modal, Pertumbuhan Laba, Ukuran Perusahaan dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan dan likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 2008-2010. Sampel yang digunakan sebanyak 33 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Metode analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan, dan likuiditas secara simultan berpengaruh terhadap kualitas laba dengan nilai signifikansi 0,040. Secara parsial, struktur modal dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kualitas laba. Pertumbuhan laba dan likuiditas berpengaruh negatif terhadap kualitas laba dengan nilai signifikansi 0,032 dan 0,008.
Dul Muid, UNDIP Semarang (2009) tentang Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas Laba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mekanisme corporate governance terhadap kualitas laba yang diproksikan discretionary accruals, di mana mekanisme corporate governance yang digunakan yaitu kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komite audit, dan kepemilikan institusional. Sampel yang digunakan sebanyak 188 perusahaan di bidang manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) selama tahun 2004-2005. Metode pemilihan menggunakan metode purposive sampling, dan metode penelitian menggunakan regresi berganda. Hasil pengujian memberikan bukti empiris bahwa kepemilikan manajerial (koefisien regresi sebesar -3,503 dengan tingkat signifikasi 0,000) dan kepemilikan institusional (koefisien regresi sebesar -0,188 dengan tingkat signifikansi 0,006) secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap kualitas laba, sedangkan dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan.
Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko, Universitas Sebelas Maret Surakarta (2007) tentang Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Investment Opportunity Set (IOS) dan mekanisme corporate governance (komite audit, dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional) terhadap kualitas laba. Sampel yang digunakan yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama periode 2001-2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Investment Opportunity Set (IOS) berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan dengan nilai Fhitung sebesar 5,849 dan signifikansi 0,000. Kepemilikan manajerial (thitung 1,240) dan kepemilikan institusional (thitung 2,649) berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba, komite audit dan dewan komisaris (0,839 > 0,05) tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan.
Tabel 1
Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Judul
Variabel
Hasil
1.
Agung Suaryana, Universitas Udayana Denpasar (2005)
Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba
Komite audit dan kualitas laba
Koefisien respon laba perusahaan yang membentuk komite audit secara statistik lebih besar dari pada perusahaan yang tidak membentuk komite audit.
2.
Gideon Boediono, UPN “Veteran” Yogyakarta (2005)
Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur
Mekanisme corporate governace (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komposisi dewan komisaris), manajemen laba dan kualitas laba
Secara simultan, pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris terhadap manajemen laba lemah. Secara parsial, pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan dewan komisaris terhadap       manajerial
(Lanjutan)
Tabel 1




cukup kuat, lemah dan sangat lemah. Secara simultan, pengaruh mekanisme corporate governace dan manajemen laba terhadap kualitas laba cukup kuat. Secara parsial, pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris dan manajemen laba terhadap kualitas laba lemah, lemah, lemah dan sangat lemah.

3.
Dhian Eka Irawati, Universitas Negeri Semarang (2012)
Pengaruh Struktur Modal, Pertumbuhan Laba, Ukuran Perusahaan dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba
Struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan, likuiditas dan kualitas laba
Struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan dan likuiditas secara simultan berpengaruh terhadap kualitas laba. Secara parsial, struktur modal dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kualitas laba. Pertumbuhan laba dan likuiditas berpengaruh negatif terhadap kualitas laba.
4.
Dul Muid, UNDIP Semarang (2009)
Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas Laba
Mekanisme corporate governance yaitu kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komite audit,
Kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap kualitas laba, sedangkan dewan komisaris dan komite
(Lanjutan)
Tabel 1



dan kepemilikan  institusional, serta kualitas laba
audit tidak berpengaruh secara signifikan.



5.
Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko, Universitas Sebelas Maret Surakarta (2007)
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan
Investment Opportunity Set (IOS) dan mekanisme corporate governance (komite audit, dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan insttusional) serta kualitas laba dan nilai perusahaan
Investment Opportunity Set (IOS) berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan; kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba; komite audit dan dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan.

Sumber : Diolah oleh penulis, 2013
Adapun beberapa perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu :
1.      Penelitian sekarang menggunakan 4 (empat) variabel independen yaitu, ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas. Serta 1 (satu) variabel dependen yaitu kualitas laba.
2.      Penelitian sekarang dilaksanakan di perusahaan properti dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3.      Penelitian dilakukan pada tahun 2013 dengan periode pengamatan selama tahun 2008 - 2012.
2.2  Telaah Pustaka
2.2.1   Akuntansi
Menurut Warren, et. al (2008 : 10) akuntansi adalah sistem informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas ekonomi dan kondisi perusahaan.
Sedangkan menurut Arens, et. al (2003 : 18) definisi akuntansi yaitu proses pencatatan, pengklasifikasian, serta pengikhtisaran kejadian-kejadian ekonomi dengan perlakuan yang logis yang bertujuan menyediakan informasi keuangan, yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
            Senada dengan kedua pendapat di atas, Horngren, et. al (2007 : 4) memberikan definisi akuntansi adalah sistem informasi yang mengukur aktivitas bisnis, memroses data menjadi laporan dan mengomunikasikan hasilnya kepada para pengambil keputusan.
            Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses akuntansi merupakan suatu proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan informasi ekonomi yang memiliki tujuan akhir untuk mengkomunikasikan data yang relevan dan andal, sehingga dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan.
2.2.2   Laporan Keuangan
2.2.2.1   Pengertian Laporan Keuangan
Laporan keuangan menurut Zaki Baridwan (2004 : 17) yaitu, “Ringkasan dari suatu proses pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan”.
Menurut Warren, et. al (2008 : 24), laporan keuangan merupakan laporan akuntansi yang menghasilkan informasi mengenai pencatatan dan pengikhtisaran transaksi yang disiapkan bagi pemakai laporan.
Adapun menurut Kieso, et. al (2008 : 2), laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak di luar perusahaan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan dan pengikhtisaran transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama periode bersangkutan, yang disiapkan untuk pemakai laporan keuangan dan sebagai sarana pengkomunikasian kepada pihak-pihak di luar perusahaan.
2.2.2.2   Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan laporan keuangan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2012 : 3) yaitu, “Menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi”.
Menurut Dwi Prastowo (2011 : 5-6) laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Di mana informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan perubahan posisi keuangan sangat diperlukan untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas, dan waktu serta kepastian dari hasil tersebut.
Informasi kinerja perusahaan terutama profitabilitas diperlukan untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa depan, sehingga dapat memprediksi kapasitas perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas serta untuk merumuskan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya.
Informasi perubahan posisi keuangan perusahaan bermanfaat untuk menilai aktivitas investasi, pendanaan, dan operasi perusahaan selama periode pelaporan, serta berguna untuk menilai kebutuhan perusahaan dalam memanfaatkan arus kas tersebut.
Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) Nomor 1 dalam Zaki Baridwan (2004 : 2-3) menyatakan bahwa pelaporan keuangan harus menyajikan informasi yang:
1.      Berguna bagi investor dan kreditur yang ada dan yang potensial dan pemakai lainnya untuk membuat keputusan investasi, pemberian kredit dan keputusan lainnya. Informasi yang disajikan harus memadai bagi mereka yang mempunyai pemahaman yang memadai tentang kegiatan dan usaha perusahaan dan aktivitas-aktivitas ekonomi bisnis serta bermaksud untuk menelaah informasi tersebut secara seksama.
2.      Dapat membantu investor serta kreditur yang ada dan yang potensial dan para pemakai lainnya untuk menaksir jumlah, penetapan waktu, dan ketidakpastian dari penerimaan uang di masa yang akan datang yang berasal dari dividen atau bunga dan hasil dari penjualan, pelunasan, atau jatuh tempo surat-surat berharga atau pinjaman. Karena rencana penerimaan dan pengeluaran uang seorang kreditur itu berkaitan dengan cash flow dari perusahaan, pelaporan keuangan harus menyajikan informasi untuk membantu investor, kreditur dan pihak lainnya untuk memperkirakan jumlah, waktu dan ketidakpastian dari aliran kas masuk (sesudah dikurangi kas keluar) di masa datang untuk perusahaan tersebut.
3.      Menunjukkan sumber-sumber ekonomi dari sebuah perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut (kewajiban perusahaan untuk mentransfer sumber daya ke perusahaan lainnya dan ekuitas pemilik), dan pengaruh dari transaksi-transaksi, kejadian-kejadian, serta keadaan-keadaan yang mempengaruhi sumber daya perusahaan dan klaim pihak lain atas sumber daya tersebut.
2.2.2.3  Pemakai Laporan Keuangan
Menurut Dwi Prastowo (2011 : 3-5) terdapat 8 (delapan) pemakai laporan keuangan untuk memenuhi beberapa kebutuhan informasi yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
1.      Investor
Investor berkepentingan terhadap risiko yang melekat dan hasil pengembangan dari investasi yang dilakukannya. Investor membutuhkan informasi ini untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan, atau menjual investasi tersebut, serta ketertarikan pada informasi yang memungkinkan melakukan penilaian terhadap kemampuan perusahaan dalam membayar dividen.

2.      Kreditur (pemberi pinjaman)
Kreditur membutuhkan informasi untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
3.      Pemasok dan kreditur usaha lainnya
Pemasok dan kreditur usaha lainnya membutuhkan informasi untuk membantu memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditur usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek dibandingkan dengan pemberi pinjaman.
4.      Shareholders (para pemegang saham)
Para pemegang saham berkepentingan dengan informasi mengenai kemajuan perusahaan, pembagian keuntungan yang akan diperoleh, dan penambahan modal untuk business plan berikutnya.
5.      Pelanggan
Pelanggan berkepentingan mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama jika mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan atau bergantung pada perusahaan.
6.      Pemerintah
Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan oleh karenanya berkepentingan dengan aktivitas perusahaan. Selain itu, mereka juga membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.
7.      Karyawan
Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakilinya tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka melakukan penilaian atas kemampuan perusahaan dalam memberikan imbalan jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja.
8.      Masyarakat
Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara, seperti pemberian kontribusi pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada para penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya.
2.2.2.4  Komponen Laporan Keuangan
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2012 : 1.4, paragraf 8), komponen laporan keuangan lengkap terdiri dari:
1.      Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode.
2.      Laporan laba rugi komprehensif selama periode.
3.      Laporan perubahan ekuitas selama periode.
4.      Laporan arus kas selama periode.
5.      Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain.
6.      Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
Informasi utama yang ada dalam laporan posisi keuangan yaitu aset, kewajiban dan ekuitas. Aset yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh perusahaan, memiliki manfaat ekonomis, dan berasal dari transaksi pada masa lalu. Kewajiban yaitu segala pengorbanan ekonomis pada masa mendatang dari hasil transaksi atau kejadian pada saat ini. Ekuitas yaitu nilai sisa dari aset atau aset dikurangi kewajiban. Informasi yang ada di dalamnya adalah modal kontribusi atau modal yang berasal dari setoran pemilik serta saldo laba.
Laporan laba rugi komprehensif berisi kinerja perusahaan dalam satu periode, umumnya selama satu tahun. Dalam laporan laba rugi, nilai penjualan atau pendapatan dikurangi biaya menjadi laba. Secara umum, makin besar labanya, kinerja sebuah perusahaan dianggap semakin baik. Laporan laba rugi dan neraca disusun menggunakan prinsip berbasis akrual, yaitu pencatatan disusun berdasarkan pada saat terjadinya transaksi.
Laporan perubahan ekuitas merupakan gambaran yang lebih detail dari bagian ekuitas dalam laporan posisi keuangan. Beberapa akun yang berhubungan antara lain laba/rugi bersih, saldo akumulasi laba dan transaksi modal pemilik, termasuk dividen.
Laporan arus kas dibagi menjadi tiga bagian, yaitu arus kas operasional, investasi dan pendanaan. Arus kas operasional mencerminkan kinerja operasional perusahaan dengan berbasis penerimaan dan pengeluaran kas. Sementara untuk bagian arus kas investasi dan pendanaan, nilai yang besar atau kecil tidak menunjukkan baik atau buruknya kinerja perusahaan, melainkan harus dilihat konteksnya terlebih dahulu.
Catatan atas laporan keuangan berisi catatan dan penjelasan kualitatif dari laporan keuangan sebelumnya, termasuk perhitungan-perhitungan yang relevan dengan akun yang disajikan dalam laporan keuangan lain. Kumpulan informasi yang ada dalam catatan atas laporan keuangan adalah bagian dari pengungkapan (disclosure) yang aturannya untuk perusahaan go public diatur oleh BAPEPAM. (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 5-9).
2.2.2  Kualitas Laba
2.2.2.1 Pengertian Kualitas Laba
Kualitas merupakan penilaian baik atau buruk dari suatu benda. Adapun laba menurut Warren, et. al (2008 : 2) yaitu, selisih antara jumlah yang diterima dari pelangggan atas barang atau jasa yang dihasilkan dengan jumlah yang dikeluarkan untuk membeli sumber daya alam dalam menghasilkan barang atau jasa tersebut.
Senada dengan Warren, menurut Kuswadi (2005 : 100), “Laba merupakan selisih pendapatan (hasil penjualan) dan beban/biaya”.
Sedangkan menurut Zaki Baridwan (2004 : 29) definisi laba yaitu:
Kenaikan modal (aktiva bersih) yang berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu badan usaha, dan dari semua transaksi atau kejadian lain yang mempengaruhi badan usaha selama suatu periode kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau investasi oleh pemilik. Contohnya adalah laba yang timbul dari penjualan aktiva tetap.

Adapun menurut Sadono Sukirno (2005 : 192), laba merupakan tujuan berbagai jenis perusahaan, di mana perusahaan memaksimumkan laba dengan cara mengatur penggunaan faktor-faktor produksi dengan cara yang seefisien mungkin.
Maka dapat disimpulkan bahwa kualitas laba merupakan penilaian baik atau buruk dari selisih antara jumlah yang diterima perusahaan dengan jumlah yang dikeluarkan, di mana selisih tersebut dapat dimaksimumkan dengan cara pengaturan faktor-faktor produksi secara efisien.
Laba digunakan sebagai alat untuk mengukur kinerja manajemen perusahaan selama periode tertentu yang pada umumnya menjadi perhatian bagi pihak-pihak tertentu, terutama dalam menaksir kinerja atas pertanggungjawaban manajemen dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka, serta dapat dipergunakan untuk memperkirakan prospeknya di masa depan.
Laba yang berkualitas adalah laba yang dapat mencerminkan kinerja ekonomi perusahaan yang sesungguhnya. Di mana untuk meningkatkan kualitas laba dapat dilakukan dengan cara meminimalisasi manajemen laba. (Sri Sulistyanto, 2008 : 86).
2.2.2.2 Pengertian Manajemen Laba
            Menurut Amat, definisi creative accounting (manajemen laba) merupakan “Transformasi informasi keuangan dengan menggunakan pilihan metode, estimasi dan praktik akuntansi yang diperbolehkan oleh standar akuntansi” (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 18).
            Sedangkan definisi manajemen laba menurut Sri Sulistyanto (2008 : 6) yaitu, “Upaya manajer untuk mengintervensi dan mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan”.
            Sementara menurut Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia (2011 : 19) manajemen laba adalah, “Aktivitas badan usaha memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi guna mendapatkan hasil yang diinginkan”.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan upaya manajer untuk memengaruhi informasi-informasi keuangan dengan menggunakan berbagai pilihan kebijakan yang diperbolehkan oleh standar akuntansi guna melindungi manajemen dan perusahaan dalam menghadapi keadaan yang tidak diinginkan.
2.2.2.3 Motivasi Manajemen Laba
Menurut Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia (2011 : 31-36) terdapat 6 (enam) hal yang memotivasi individu atau perusahaan untuk melakukan tindakan manajemen laba, yaitu:
1.   Motivasi bonus
Dalam bisnis, pemegang saham akan memberikan insentif dan bonus sebagai feedback atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam jumlah relatif tetap dan rutin. Sementara bonus yang relatif besar hanya akan diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang telah ditetapkan perusahaan, salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha. Pengukuran kinerja berdasarkan laba usaha dan skema bonus tersebut memotivasi para manajer untuk memberikan performa terbaiknya sehingga tidak menutup peluang mereka melakukan tindakan manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja yang baik demi mendapatkan bonus yang maksimal.
Sebuah penelitian akademis menunjukkan bahwa manajer yang menjadi subjek rencana bonus atas dasar laba biasanya cenderung untuk menaikkan laba apabila mereka sudah berada dalam posisi mendekati batasan bonus, dan mereka cenderung untuk menurunkan laba apabila ada kecenderungan laba yang akan dilaporkan berada di atas bonus maksimal. Kecenderungan ini dilakukan karena manajer memiliki tendensi untuk menunda pengakuan laba di periode yang baik untuk berjaga-jaga apabila hasil operasi periode berikutnya tidak begitu memuaskan (Stice, et. al, 2004 : 421).
2.   Motivasi utang
Manajer seringkali melakukan kontrak dengan pihak ketiga (kreditur) untuk kepentingan ekspansi perusahaan. Agar kreditur mau menginvestasikan dananya di perusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh hasil yang maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku manajemen laba untuk menampilkan performa yang baik dari laporan keuangannya pun seringkali muncul.
3.   Motivasi pajak
Kepentingan ini didominasi oleh perusahaan yang belum go public. Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya.
            Penelitian Setyowati (2002) menunjukkan adanya pengaruh penerapan peraturan perpajakan tahun 1994 terhadap dugaan praktik manajemen laba pada 179 perusahaan yang terdaftar di BEJ pada periode 1994-1995. Hasil studi tersebut tidak terbukti untuk periode 1994 (satu periode sebelum berlakunya peraturan perpajakan) di mana penurunan laba yang terjadi tidak signifikan. Sementara untuk periode 1995 terjadi penurunan laba yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan peraturan perpajakan terbaru telah memotivasi perusahaan atau manajer untuk mempercepat pengakuan biaya dan menunda pengakuan pendapatan sehingga diperoleh laba minimal yang berimplikasi pada biaya pajak yang rendah (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 33).
4.   Motivasi penjualan saham
Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun sudah go public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham perdananya ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public Offerings (IPO) untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor. Sedangkan perusahaan yang sudah go public untuk kelanjutan ekspansi usahanya, perusahaan akan menjual sahamnya ke publik baik melalui penawaran kedua, ketiga dan seterusnya.
            Proses penjualan saham perusahaan ke publik akan direspon positif oleh pasar ketika perusahaan penerbit saham (emiten) dapat menunjukkan kinerja yang baik. Di mana salah satu ukuran kinerja yang dilihat oleh calon investor adalah penyajian laba pada laporan keuangan perusahaan.
            Sulistiawan dan Arni (2003) membuat suatu riset tentang IPO. Hasilnya IPO tahun 1999-2001 menghasilkan laba satu hari (selisih harga pasar perdana dan harga hari pertama di pasar sekunder) sebesar 70,1% (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 35).
5.   Motivasi pergantian direksi
Praktik manajemen laba ini biasanya terjadi pada sekitar periode pergantian direksi atau Chief Executive Officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir ia menjabat. Perilaku ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan laba yang cukup signifikan pada periode menjelang berakhirnya masa jabatan. Motivasi utama yang mendorong perilaku kreatif ini adalah untuk memeroleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya.
6.   Motivasi politis
Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan industri strategis perminyakan, gas, listrik dan air. Demi menjaga tetap mendapatkan subsidi, perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menjaga posisi keuangannya dalam keadaan tertentu sehingga prestasi atas kinerjanya tidak terlalu baik.
            Berdasarkan motivasi-motivasi yang telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa pihak manajemen melakukan manajemen laba dikarenakan adanya motivasi yang lebih bersifat oportunis dibandingkan dengan alasan efisiensi.
 2.2.2.4 Cara Mendeteksi Manajemen Laba
            Menurut Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia (2011 : 66-78), terdapat dua cara untuk mendeteksi manajemen laba, yakni cara kualitatif dan cara kuantitatif. Secara kualitatif, pendeteksian dilakukan menggunakan analisis akuntansi, sedangkan secara kuantitatif dilakukan menggunakan beberapa indikator manajemen laba yang diambil dari beberapa riset empiris.
2.2.2.4.1 Deteksi Manajemen Laba Secara Kualitatif
            Untuk mendeteksi manajemen laba, analisis akuntansi dapat dilakukan sebagai berikut (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 67-69).
1.      Mengidentifikasi kebijakan akuntansi utama yang digunakan oleh sebuah perusahaan atau industri. Misalnya kebijakan akuntansi untuk aset tetap.
2.      Menilai penggunaan fleksibilitas akuntansi perusahaan, yaitu seberapa fleksibel perusahaan menerapkan kebijakan akuntansinya. Misalnya seringkah perusahaan melakukan perubahan estimasi dan kebijakan akuntansinya ?
3.      Menilai strategi yang dijalankan perusahaan, yaitu sejauh manakah perbedaan kebijakan akuntansi perusahaan yang sedang dijalankan dengan kebijakan akuntansi perusahaan lain.
4.      Menilai kualitas pengungkapan perusahaan, yaitu dengan menilai apakah perusahaan telah menyediakan informasi yang memadai untuk menilai strategi dan memahami kondisi ekonomi dari kegiatan operasinya.
5.      Mengidentifikasikan adanya potensi permasalahan akuntansi (potencial red flag). Potensi permasalahan akuntansi dapat diidentifikasikan dari hal-hal berikut ini (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 68-69):
1)      Adanya perubahan akuntansi yang tidak dapat dijelaskan, khususnya ketika kinerja perusahaan sedang dalam keadaan buruk. Contohnya, jika perusahaan mengubah metode akuntansi pada saat laba operasionalnya rendah dan keadaan bisnisnya memburuk, kemungkinan besar aktivitas tersebut adalah praktik manajemen laba.
2)      Adanya transaksi-transaksi pelambungan laba yang tidak dapat dijelaskan. Contohnya, perusahaan menjual aset produktivitasnya pada saat harga pasarnya berada di titik tertingginya untuk mendapatkan keuntungan penjualan aset tetap. Padahal, perusahaan harus menjaga kapasitas produksinya. Peningkatan piutang usaha yang tidak biasa dalam kaitannya dengan peningkatan penjualan yang dilakukan dengan melonggarkan kredit atau memberikan toleransi retur penjualan bertujuan melambungkan penjualan tahun ini. Namun, bisa jadi hal ini akan mengorbankan penjualan pada tahun depan.
3)      Adanya peningkatan gap antara laba bersih dan aliran kas operasi. Perusahaan mungkin saja “mengutak atik” akrual.
4)      Adanya peningkatan gap antara laba bersih yang dilaporkan dan laba untuk tujuan pajak.
5)      Adanya penghapusan (writedowns) aset dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau tak terduga.
6)      Adanya penyesuaian pada kuarter keempat yang luas. Bagi perusahaan yang berusaha memenuhi target laba tertentu, kuarter keempat adalah tempat “berimprovisasi” untuk mencapai target itu.
7)      Adanya opini audit yang qualified atau adanya perubahan auditor.
8)      Adanya transaksi-transaksi yang banyak berkaitan dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
            Cara lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya manajemen laba adalah dengan melihat apakah terjadi penyajian kembali laba (earnings restatement), yaitu perusahaan publik diharuskan untuk menyajikan kembali earnings dan informasi keuangan lainnya yang sebelumnya telah diungkapkan, karena berisi kesalahan (error) yang dihasilkan dari kesalahan matematis, kesalahan dalam penerapan prinsip akuntansi, atau pengawasan atau penyalahgunaan dari fakta-fakta yang ada pada saat laporan keuangan disiapkan.
2.2.2.4.2 Deteksi Manajemen Laba Secara Kuantitatif
            Menurut Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia (2011 : 70-77), manajemen laba dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu manajemen laba melalui kebijakan akuntansi dan manajemen laba melalui aktivitas riil. Manajemen laba melalui kebijakan akuntansi merujuk pada permainan angka laba yang dilakukan menggunakan teknik dan kebijakan akuntansi. Sementara, manajemen laba melalui aktivitas riil merujuk pada permainan angka laba yang dilakukan melalui aktivitas-aktivitas yang berasal dari kegiatan bisnis normal atau yang berhubungan dengan kegiatan operasional, misalnya menunda kegiatan promosi produk atau mempercepat penjualan dengan pemberian diskon besar-besaran.
1.      Deteksi manajemen laba melalui kebijakan akuntansi
Terdapat empat model yang banyak digunakan dalam riset empiris, yaitu:
1)      Jones Model (JM), 1991
Model ini berfokus pada total akrual sebagai sumber informasi manipulasi akuntansi atau manajemen laba. Secara spesifik, model ini membagi total akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner. Akrual diskresionerlah yang digunakan sebagai estimasi manipulasi akuntansi.
            JM mengasumsikan bahwa akrual nondiskresioner bersifat tetap dari satu periode ke periode lainnya sehingga perubahan akrual (perbedaan antara akrual tahun ini dengan tahun lalu) yang terjadi disebabkan karena adanya perubahan akrual diskresioner. Perubahan akrual dapat disebabkan karena adanya pertimbangan (diskresi) dari pihak manajemen, dalam hal ini permainan kebijakan akuntansi.
            Secara detail penentuan akrual diskresioner sebagai indikator manajemen dengan JM laba dijabarkan dalam tahap-tahap sebagai berikut.
(1)   Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAit = NIit - CFOit
(2)   Menentukan nilai parameter α1, α2, dan α3 dengan formula:
TAit =  α1 + α2∆Revit + α3PPEit + eit
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset tahun sebelumnya (Ait-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAit/Ait-1 = α1(1/Ait-1) + α2 (∆Revit/Ait-1) + α3(PPEit/Ait-1) + eit

(3)   Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAit = α1(1/Ait-1) + α2(∆Revit/Ait-1) + α3(PPEit/Ait-1)
(4)   Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan formula:
      DAit = TAit - NDAit
Keterangan:
TAit           = Total akrual perusahaan i dalam periode t
NIit                        = Laba bersih perusahaan i pada periode t
CFOit       = Arus kas operasi perusahaan i pada periode t
NDAit      = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada periode t
DAit          = Akrual diskresioner perusahaan i pada periode t
Ait-1           = Total aset perusahaan i pada periode t-1
∆Revit        = Perubahan penjualan bersih perusahaan i pada periode t
PPEit         = Property, plant, and equipment perusahaan i pada periode t
α1, α2, α3   = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi
eit                = Error term perusahaan i pada periode t
2)      Modified Jones Model (MJM), 1995
Model ini dikembangkan oleh Dechow, et. al (1995). Model ini muncul untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam JM. Menurut Dechow, kelemahan JM adalah secara implisit berasumsi bahwa diskresi manajemen tidak dilakukan terhadap pendapatan. Padahal, telah disebutkan sebelumnya bahwa pendapatan tidak sepenuhnya terlepas dari usaha manipulasi. Jika pengelola perusahaan ternyata melakukan manipulasi pendapatan, JM menjadi bias (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 72-73).
            Dechow mengembangkan MJM dengan mengasumsikan bahwa perubahan yang terjadi dalam penjualan kredit pada periode berjalan merupakan objek manipulasi laba sehingga ia memperbaiki JM dengan menghilangkan variabel perubahan piutang dari perubahan pendapatan untuk mengestimasi akrual nondiskresioner pada periode kejadian.
            Secara detail, penentuan akrual diskresioner dengan MJM sebagai indikator manajmen laba dapat dijabarkan dalam tahap-tahap berikut:
(1)   Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAit = NIit - CFOit
(2)   Menentukan nilai parameter α1, α2, dan α3 dengan formula:
TAit =  α1 + α2∆Revit + α3PPEit + eit
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset tahun sebelumnya (Ait-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAit/Ait-1 = α1(1/Ait-1) + α2 (∆Revit/Ait-1) + α3(PPEit/Ait-1) + eit
(3)   Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAit = α1(1/Ait-1) + α2(∆Revit/Ait-1-∆Recit/Ait-1) + α3(PPEit/Ait-1)
(4)   Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan formula:
      DAit = TAit - NDAit
Keterangan:
TAit           = Total akrual perusahaan i dalam periode t
NIit                        = Laba bersih perusahaan i pada periode t
CFOit       = Arus kas operasi perusahaan i pada periode t
NDAit      = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada periode t
DAit          = Akrual diskresioner perusahaan i pada periode t
Ait-1           = Total aset perusahaan i pada periode t-1
∆Revit        = Perubahan penjualan bersih perusahaan i pada periode t
∆Recit        = Perubahan piutang bersih perusahaan i pada periode t
PPEit         = Property, plant, and equipment perusahaan i pada periode t
α1, α2, α3   = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi
eit                = Error term perusahaan i pada periode t
3)      Kasznik Model (KM), 1999
KM telah mempertimbangkan dimasukkannya Operating Cash Flow (OCF) sebagai variabel penjelas yang tidak dipertimbangkan dalam MJM. Kasznik berpendapat bahwa akrual nondiskresioner merupakan fungsi dari perubahan pendapatan yang disesuaikan dengan adanya perubahan piutang, property, plant, equipment, dan OCF. Dimasukkannya variabel OCF inilah yang membedakan penentuan KM dengan MJM (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 74-75).
            Secara detail, penentuan akrual diskresioner dengan KM sebagai indikator manajemen laba dapat dijabarkan dalam tahap-tahap berikut:

(1)   Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAip = NIip - CFOip
(2)   Menentukan nilai parameter αp, βtp, β2p dan β3p dengan formula:
TAip =  αp + βtp (∆REVip - ∆RECip) + β2p PPEip + β3p∆CFip + eip
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset tahun sebelumnya (Aip-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAip/Aip-1 = αp + βtp (∆REVip - ∆RECip) / (Aip-1) + β2p PPEip / (Aip-1) + β3p∆CFip / (Aip-1) + eip
(3)   Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAip = αp + βtp (∆REVip - ∆RECip) / (Aip-1)+ β2p PPEip / (Aip-1) + β3p∆CFip / (Aip-1) + eip
(4)   Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan formula:
      DAip = TAip / Aip-1 - NDAip
Keterangan:
TAip              = Total akrual perusahaan i dalam periode p
NIip               = Laba bersih perusahaan i pada periode p
CFOip           = Arus kas operasi perusahaan i pada periode p
NDAip         = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada periode p
DAip             = Akrual diskresioner perusahaan i pada periode p
Aip-1               = Total aset perusahaan i pada periode p-1
∆Revip         = Perubahan penjualan bersih perusahaan i pada periode p
∆Recip          = Perubahan piutang dagang perusahaan i pada periode t
PPEip                            = Property, plant and equipment perusahaan i periode p
αp, βtp, β2p, β3p    = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi
eip                   = Error term perusahaan i pada periode p
4)      Performance Matched Discretionary Accruals Model (2005)
Model ini dikembangkan oleh Kothari, et. al (2005) yang memiliki ide dasar bahwa akrual yang terdapat dalam perusahaan yang sedang memiliki kinerja yang “tidak biasa” (unusual performance) secara sistematis diharapkan bukan nol sehingga kinerja perusahaan pastinya berhubungan dengan akrual.
            Ini berarti bahwa perusahaan yang memiliki kinerja yang tidak biasa, seperti perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan, memiliki hubungan positif dengan akrual. Bahkan, jika kinerja perusahaan sedang baik, bisa jadi akrual yang dimiliki cukup tinggi. Tingginya nilai akrual sebenarnya disebabkan karena perusahaan sedang dalam pertumbuhan atau memang kinerjanya dalam keadaan baik, yang bisa saja ditunjukkan dengan jumlah piutang yang tinggi, bukan karena manajemen laba.
            Dengan demikian, untuk mengontrol kinerja yang tidak biasa, dalam mengestimasi akrual diskresioner, Kothari et. al memasukkan variabel kinerja, seperti Return On Assets (ROA) sebagai tambahan variabel independen dalam model regresi akrual diskresioner (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 75-76).

2.      Deteksi manajemen laba dari aktivitas riil
Praktik manajemen laba riil dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode sebagai berikut (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 76-78):
1)      Memanipulasi penjualan atau meningkatkan penjualan secara tidak wajar (sales manipulation). Cara ini dilakukan dengan menawarkan diskon harga atau syarat kredit yang ringan.
2)      Mengurangi pengeluaran diskresioner. Seperti biaya riset dan pengembangan, biaya iklan dan biaya pemeliharaan dibebankan pada periode terjadinya.
3)      Produksi yang berlebihan (over production). Agar laba naik, manajer memproduksi lebih banyak persediaan dari yang sewajarnya untuk memenuhi permintaan.
2.2.3  Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP)
            Kantor akuntan publik dapat diklasifikasikan menurut ukurannya. Di Amerika Serikat kantor akuntan publik terbesar pertama kali dikelompokkan dengan istilah “the big 8” pada tahun 1986, kemudian dilakukan beberapa kali merjer antar kantor akuntan publik terbesar menjadi “the big 6”, “the big 5”, dan terakhir dengan adanya skandal Enron pada tahun 2002 menjadi “the big 4”. Di Indonesia, ukuran kantor akuntan publik dibagi menjadi the big 4, second-tier firms, the third-tier firms dan lokal.
            Tabel berikut ini menunjukkan profil dan kapasitas dari 8 (delapan) kantor akuntan publik besar di Amerika Serikat.
Tabel 2
Profil The Big Four dan Second-tier Accounting Firms di Amerika Serikat
KAP
$ (Juta)
Partner
Profesional
Kantor
Klien Audit
Deloitte & Touche
7.814
25.560
23.841
103
1.223
Ernst & Young
6.331
2.130
15.900
97
1.556
KPMG
6.167
2.019
20.056
91
1.282
PricewaterhouseCoopers
4.359
1.607
12.184
93
1.138
Rata-rata The Big Four
6.168
2.079
18.245
96
1.300
BDO Seidman
898
444
3.575
48
354
Grand Thornton
558
240
1.803
34
295
McGladrey & Pullen
1.281
775
4.567
125
109
Crowe Chizek
423
129
1.458
20
106
Rata-rata Second-tier
790
397
2.851
57
216

Sumber : Public Accounting Report, Audit Analytics dalam Theodorus Tuanakotta (2011 : 264).

            Tabel di atas menunjukkan the big 4 mengaudit sekitar 40% dari semua perusahaan terdaftar di SEC. Empat KAP dalam kelompok second-tier accounting firms mengaudit 10% dari perusahaan tersebut, dan ratusan KAP regional mengaudit selebihnya (50%) namun pada umumnya KAP yang lebih kecil.
            Menurut Theodorus Tuanakotta (2011 : 265), the big 4 mempunyai perjanjian kerjasama dengan KAP terbesar di berbagai negara di dunia. Sedangkan non-the big 4 hanya dapat bekerja sama dengan KAP kecil atau yang kurang dikenal, sehingga the big 4 mempunyai keunggulan yang kompetitif.





2.2.4   Ukuran Perusahaan
Definisi perusahaan (business) menurut Warren, et. al (2008 : 2) yaitu, suatu organisasi di mana sumber daya (input), seperti bahan baku dan tenaga kerja diproses untuk menghasilkan barang atau jasa (output) bagi pelanggan. Di mana tujuan dari kebanyakan perusahaan adalah untuk memaksimumkan laba atau keuntungan (Warren et. al, 2008 : 2; Sadono Sukirno, 2005 : 192).
Undang-Undang RI No. 20 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah membagi ukuran perusahaan menjadi usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar. Di mana dalam penentuan kriteria usaha tersebut berdasarkan jumlah kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan yang dimiliki perusahaan.
Senada dengan hal tersebut, Theodorus Tuanakotta (2011 : 230) mengungkapkan bahwa hampir semua penelitian menggunakan total nilai aset dalam mengukur besar atau kecilnya suatu perusahaan.
Besarnya perusahaan tidak luput dari risiko usaha. Bahkan risiko perusahaan menjadi semakin besar seiring semakin beraneka ragam barang yang diproduksi perusahaan dan semakin kompleks pekerjaan yang dilakukan, atau semakin banyak transaksi yang terjadi. Dengan kata lain, semakin kompleks aktivitas yang dilakukan, maka semakin besar risiko yang dihadapi (Ronny Kountur, 2013 : 1).
2.2.5  Leverage
Kreditor jangka panjang biasanya menghadapi resiko yang lebih besar dari pada kreditor jangka pendek, yaitu kemampuan perusahaan dalam membayar pinjaman dan bunganya. Oleh karena ini kreditor jangka panjang lebih menaruh perhatian pada leverage perusahaan.
Menurut Dwi Prastowo (2011 : 89), leverage perusahaan menggambarkan kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Berikut ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur leverage (Brealey, et. al, 2007 : 75-77).
1.      Rasio utang (debt ratio)
Leverage keuangan biasanya diukur dengan rasio utang jangka panjang terhadap total modal jangka panjang. Utang jangka panjang tidak hanya harus mencakup obligasi atau pinjaman lain tetapi juga nilai lease jangka panjang. Total modal jangka panjang terkadang disebut total kapitalisasi, adalah jumlah utang jangka panjang dan ekuitas pemegang saham.
Rasio utang jangka panjang
=
Utang jangka panjang
Utang jangka panjang + ekuitas

Cara lain untuk mengekspresikan leverage adalah dalam bentuk rasio ekuitas perusahaan:
Rasio utang jangka panjang – ekuitas
=
Utang jangka panjang
Ekuitas

Rumus di atas hanya memperhitungkan utang jangka panjang dalam mengukur leverage, terkadang manajer mendefinisikan utang untuk mencakup semua kewajiban.
Rasio total kewajiban
=
Total kewajiban
Total aset

            Pada umumnya kreditor jangka panjang lebih menyukai angka debt ratio yang kecil. Semakin kecil angka rasio, berarti semakin besar jumlah aset yang didanai oleh pemillik perusahaan, dan semakin besar penyangga risiko kreditor. (Dwi Prastowo, 2011 : 90).
            Kuswadi (2005 : 89) mengungkapkan bahwa informasi mengenai pemilik usaha juga penting untuk diketahui, apakah pemilik usahanya adalah pemegang saham atau kreditur. Tujuannya untuk mengetahui besarnya bagian dari total aset yang dibiayai oleh keduanya. Misalnya, apabila besarnya utang dibandingkan dengan total aset sebesar 40%, berarti 60% dari total asetnya dibiayai oleh investor (para pemegang saham).
2.      Rasio tingkat kemampuan membayar bunga (times interest earned ratio)
Rasio ini untuk mengukur kemampuan operasi perusahaan dalam memberikan proteksi kepada kreditur jangka panjang, khususnya dalam membayar bunga.
Tingkat kemampuan membayar bunga
=
EBIT
Pembayaran bunga

            Menurut Dwi Prastowo (2011 : 90) tidak ada pedoman pasti tentang besarnya angka rasio ini yang dikatakan baik. Pada umumnya laba dipandang cukup untuk melindungi kreditur bila rasio ini besarnya 2 kali atau lebih. Senada dengan hal tersebut, Brealey, et. al (2007 : 77) mengungkapkan bahwa rasio ini tidak memberitahukan kepada pengguna apakah perusahaan dapat menghasilkan cukup banyak uang tunai untuk mengembalikan utangnya ketika jatuh tempo.

3.      Rasio cakupan kas (cash coverage ratio)
Pada saat kita menghitung laba, penyusutan mengurangi laba perusahaan, namun tidak ada kas yang dikeluarkan atas biaya depresiasi tersebut. Oleh karena itu, untuk menghitung sejauh mana bunga dapat ditutup oleh arus kas dari operasi, kita perlu mengeluarkan biaya penyusutan dari perhitungan laba.
Rasio cakupan kas
=
EBIT + Penyusutan
Pembayaran bunga

2.2.6   Likuiditas
Menurut Dwi Prastowo (2011 : 64), “Likuiditas perusahaan menggambarkan kemampuan perusahaan tersebut dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya kepada kreditur jangka pendek”.
Berikut ini merupakan perhitungan untuk mengukur likuiditas perusahaan. (Brealey, et. al, 2007 : 77-79; Dwi Prastowo, 2011 : 83-88)
1.      Rasio modal kerja (net working capital ratio)
Aset lancar adalah aset yang diharapkan perusahaan dapat diperoleh dalam waktu dekat. Selisih antara aset lancar dan kewajiban lancar disebut modal kerja bersih. Modal kerja bersih mengukur potensi cadangan kas perusahaan secara kasar. Aset lancar biasanya melebihi kewajiban lancar.
Modal kerja bersih = Aset lancar – kewajiban lancar
Manajer sering mengekspresikan modal kerja bersih sebagai bagian total aset.
Rasio Modal Kerja =
Modal kerja bersih (NWC)
Total aset

      Jumlah modal kerja yang dimiliki oleh perusahaan ini menjadi perhatian para kreditur jangka pendek, karena angka ini menunjukkan jumlah aktiva yang dibelanjai dari sumber dana jangka panjang, yang tidak memerlukan pembayaran kembali dalam jangka pendek. Makin besar angka modal kerja ini, berarti makin besar tingkat proteksi kreditor jangka pendek, dan makin besar kepastian bahwa utang jangka pendek akan dilunasi tepat waktu.
      Meskipun menyenangkan bagi kreditur jangka pendek untuk melihat angka modal kerja yang besar, akan tetapi kesenangan mereka baru akan penuh bila mereka telah memperoleh kepastian, bahwa modal kerja berputar pada tingkat kecepatan yang tinggi dan bahwa utang akan dapat dibayar, meski dalam kondisi operasi yang sulit sekalipun. Alasannya, modal kerja yang tinggi tidak memberikan jaminan bahwa utang akan dapat dibayar pada saat jatuh temponya. Tingginya angka modal kerja dapat disebabkan adanya persediaan yang telah usang atau tidak laku terjual. Oleh karena itu, untuk memperoleh perspektif yang benar, angka modal kerja harus dilengkapi dengan angka current ratio, quick ratio, perputaran piutang dan perputaran persediaan.
2.      Rasio lancar (current ratio)
Elemen-elemen yang digunakan dalam perhitungan modal kerja dapat dinyatakan dalam rasio, yang membandingkan antara total aktiva lancar dan utang lancar.
Rasio lancar
=
Aset lancar
Kewajiban lancar

            Penurunan cepat pada rasio lancar terkadang menandakan masalah. Misalnya, perusahaan yang memperberat utangnya dengan menunda pembayaran tagihannya akan mengalami peningkatan kewajiban lancar dan penurunan rasio lancar.
      Meskipun demikian, perubahan rasio lancar bisa menyesatkan. Sebagai contoh, misalkan perusahaan meminjam sejumlah besar uang dari bank dan menginvestasikannya dalam sekuritas. Kewajiban lancar naik dan begitu pula aset lancar. Karena itu, jika tidak ada yang berubah, modal kerja bersih tidak terpengaruh tetapi rasio lancar berubah. Untuk alasan ini, kadang-kadang investasi jangka pendek bersih terhadap utang jangka pendek lebih disukai ketika menghitung rasio lancar.
            Di samping itu, tingginya current ratio dapat menjebak. Hal ini dikarenakan current ratio yang tinggi dapat disebabkan adanya piutang yang tidak tertagih atau persediaan yang tidak terjual, yang tentu saja tidak dapat dipakai untuk membayar utang. Untuk menguji apakah alat bayar tersebut benar-benar likuid (benar-benar dapat digunakan untuk membayar utangnya), maka alat bayar yang kurang likuid harus dikeluarkan dari total aktiva lancar perusahaan.
            Rasio lancar memang memberikan indikasi bahwa semakin besar angka rasio ini, maka semakin kuat atau besar kemampuan perusahaan dalam menjamin kewajiban lancarnya. Namun dalam praktik sehari-hari, klaim atas kewajiban lancar jarang terjadi secara mendadak, melainkan selalu terjadwal dengan baik. Sehingga rasio lancar tidak memberikan nilai ekstra bagi manajemen, khususnya dalam memperkirakan kemampuan likuiditas untuk membayar pengeluaran dan biaya selain kewajiban yang sudah terjadwal. (Kuswadi, 2005 : 79-80).
            Di samping itu, terdapat beberapa kelemahan pokok rasio lancar menurut Kuswadi (2005 : 80) yaitu:
1)      Rasio lancar tidak bisa menjawab apakah pada waktu yang akan datang, di antara kewajiban-kewajiban yang terjadwal, perusahaan mempunyai kemampuan (dari penerimaan kas) untuk meliput seluruh pembelanjaan rutin operasional dan pembelanjaan pembangunan investasinya (minimal untuk satu bulan mendatang).
2)      Dari rasio ini, tidak dapat diperoleh informasi, apakah kemampuan likuiditas perusahaan timbul karena prestasi perusahaan yang sehat, atau karena telah dilakukannya berbagai jalan pintas yang tidak sehat untuk sekadar menunjukkan posisi yang likuid.
3.      Rasio cepat (quick/acid test ratio)
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tidak semua aset lancar bersifat likuid ketika dibutuhkan. Jika terdapat masalah mendadak, persediaan tidak dapat dijual pada harga berapa pun di atas harga obral besar-besaran (masalah umumnya datang karena perusahaan tidak dapat menjual persediaan produk jadinya lebih dari biaya produksi). Maka manajer seringkali mengabaikan persediaan dan komponen aset lain yang kurang likuid ketika membandingkan aset lancar dengan kewajiban lancar. Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatian pada kas, sekuritas dan tagihan yang belum dibayar pelanggan.
Rasio cepat
=
Kas + sekuritas + piutang
Kewajiban lancar

4.      Rasio kas (cash ratio)
Aset perusahaan yang paling likuid adalah kas dan sekuritas. Rasio kas dapat dihitung sebagai berikut.
Rasio kas
=
Kas + sekuritas
Kewajiban lancar
     
      Rasio kas yang rendah mungkin tidak menjadi masalah jika perusahaan dapat meminjam dalam waktu singkat, dengan meminjam dari bank atau mungkin perusahaan mempunyai mempunyai lini kredit terjamin yang memungkinkannya meminjam dana pada saat dibutuhkan.
5.      Perputaran piutang (account receivable turnover)
Setelah alat-alat bayar yang kurang likuid dikeluarkan dari total aktiva lancar (total alat bayar), maka kini tinggal ada tiga macam alat bayar, yaitu kas (yang benar-benar likuid), surat berharga dan piutang dagang. Sebagai alat bayar, piutang dagang (yang biasanya jumlahnya cukup besar) juga harus diuji (dievaluasi) likuiditasnya. Untuk menguji (mengevaluasi) piutang dagang ini, perlu dihitung rasio perputaran piutang dan jumlah hari piutang.
            Rasio perputaran piutang ini biasanya digunakan dalam hubungannya dengan analisis terhadap modal kerja, karena memberikan ukuran kasar tentang seberapa cepat piutang perusahaan berputar menjadi kas. Angka jumlah hari piutang ini menggambarkan lamanya suatu piutang bisa ditagih (jangka waktu pelunasan/penagihan piutang). Rasio perputaran piutang dan jumlah hari piutang ini dihitung dengan cara sebagai berikut:
Perputaran piutang
=
Penjualan (kredit)
Rata-rata piutang

Jumlah hari piutang
=
Jumlah hari per tahun
Perputaran piutang

            Selain dihitung jumlah hari piutangnya, dalam mengevaluasi piutang dagang ini perlu diperhatikan juga kepada siapa piutang dagang ini diberikan. Selain itu, perlu diingat bahwa sebelum bisa ditagih, piutang dagang dapat juga dijual atau dijaminkan (factoring dan pledging), yang berarti merupakan sumber dana.
      Baik tidaknya angka jumlah hari piutang sangat bergantung pada termin kredit yang ditawarkan perusahaan kepada para pelanggannya. Misalnya jika termin kredit yang diberikan adalah 30 hari, dan jumlah hari piutang yang diperoleh adalah 40 hari, maka periode penagihan ini dapat dikatakan cukup baik. Namun jika termin kredit yang diberikan adalah 10 hari maka periode penagihan sebesar 40 hari ini memberikan petunjuk adanya masalah pada fungsi penagihan atau pada manajemen kredit perusahaan.
6.      Perputaran persediaan
Jika pada pembahasan sebelumnya persediaan dianggap alat bayar yang kurang likuid, maka seperti halnya piutang dagang, kita juga harus menguji apakah persediaan ini memang benar-benar tidak likuid dan oleh karenanya dikeluarkan dari total aktiva lancar. Untuk menguji persediaan ini, perlu dihitung rasio perputaran persediaan dan jumlah hari persediaan
            Rasio perputaran persediaan mengukur berapa kali persediaan telah dijual selama periode tertentu, misalnya selama tahun tertentu. Rasio perputaran persediaan dan jumlah hari persediaan ini dihitung dengan cara sebagai berikut:
Perputaran persediaan
=
Harga pokok penjualan
Rata-rata persediaan



Jumlah hari persediaan
=
Jumlah hari per tahun
Perputaran persediaan

            Rata-rata persediaan dihitung dengan cara menambahkan saldo persediaan awal dan akhir, kemudian dibagi dua.
            Apabila suatu perusahaan mempunyai rasio perputaran persediaan yang lebih rendah dibanding rasio rata-rata industrinya, maka hal ini menunjukkan adanya persediaan yang sudah usang atau persediaan yang terlalu tinggi. Sebaliknya, rasio perputaran persediaan yang lebih rendah dibanding rata-rata, memberi indikasi tingkat persediaan tidak cukup.
Selain mengevaluasi kualitas alat bayar (komponen aktiva lancar) yang akan digunakan untuk membayar utang, utang lancar tersebut harus juga dievaluasi untuk mengetahui apakah semua utang lancar tersebut memang harus segera dibayar. Menurut Dwi Prastowo (2011 : 88) meskipun angka rasio likuiditas suatu perusahaan kecil, tidak berarti bahwa secara riil kemampuan (likuiditas) perusahaan tersebut kecil. Hal ini disebabkan karena setiap perusahaan mempunyai “cadangan likuiditas”. Cadangan likuiditas ini antara lain ditunjukkan dengan adanya:
1.      Hubungan baik yang dimiliki oleh perusahaan, yang memungkinkan perusahaan meminjam uang sewaktu-waktu membutuhkan dana. Kenyataan ini tidak tampak pada neraca.
2.      Perusahaan masih memiliki batas kredit bank yang belum digunakan.
3.      Perusahaan mempunyai aktiva jangka panjang yang dapat dikonversikan menjadi kas dengan segera.
4.      Perusahaan berada dalam posisi utang jangka panjang yang sangat baik, sehingga memiliki kapabilitas untuk menerbitkan utang baru atau saham.
5.      Praktik cek mundur di dalam transaksi bisnis.
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
            Kualitas laba sangat penting dalam pengambilan keputusan, karena pada umumnya pemakai laporan keuangan dalam menilai kinerja perusahaan berdasarkan laba yang disajikan dalam laporan keuangan. Namun dengan maraknya praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, mengakibatkan informasi laba yang disajikan diragukan kualitasnya, yang dapat berdampak pada kesalahan dalam pengambilan keputusan ekonomi.
            Manajemen laba dilakukan karena perilaku oportunis manajemen untuk memperoleh sesuai dengan yang diharapkan. Kualitas akuntan publik atau auditor eksternal diharapkan dapat membatasi perilaku oportunis manajemen perusahaan, sehingga manajemen laba dapat diminimalisasi. Di mana kantor akuntan publik dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran besar kecilnya perusahaan. Di Indonesia diklasifikasikan menjadi the big 4, second-tier firms, the third-tier firms dan lokal.
Besar atau kecilnya perusahaan dapat diukur dari total aset yang dimiliki. Namun besarnya perusahaan tidak luput dari risiko usaha. Bahkan risiko usaha yang ditanggung menjadi semakin besar karena aktivitas usaha yang dilakukan semakin kompleks.
Leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai oleh hutang. Jika aset perusahaan lebih banyak dibiayai oleh hutang, maka perusahaan dapat dinilai tidak dapat menjaga keseimbangan keuangan antara penggunaan dana dengan modal/dana yang diperoleh dari operasi perusahaan.
Likuiditas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi hutang jangka pendeknya dengan aset lancar yang dimiliki. Tingkat likuiditas perusahaan yang tinggi dapat menunjukkan bahwa perusahaan mampu membayar kewajibannya, yang berarti kinerja keuangannya cukup baik sehingga tidak perlu melakukan manajemen laba. Namun pemakai laporan keuangan perlu berhati-hati karena tingginya likuiditas dapat disebabkan oleh tingginya piutang yang sebenarnya tidak dapat ditagih atau persediaan yang sudah usang dan tidak dapat dipergunakan lagi.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, maka skema kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :




 

















Gambar 1
Skema Kerangka Pemikiran Teoritis
2.4 Rumusan Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis seperti berikut:
H1     :
Ukuran KAP berpengaruh terhadap kualitas laba.
H2     :
Ukuran perusahaan  berpengaruh terhadap kualitas laba.
H3     :
Leverage berpengaruh terhadap kualitas laba.
H4     :
Likuiditas berpengaruh terhadap kualitas laba.
H5     :

Ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas secara simultan berpengaruh terhadap kualitas laba.

BAB III

 
METODOLOGI PENELITIAN

3.1  Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode eksplanasi yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara satu variabel dengan variabel yang lain.
3.2 Operasionalisasi Variabel
Definisi operasional merupakan pengoperasian atau secara operasional mendefinisikan sebuah konsep untuk membuatnya bisa diukur, dilakukan dengan melihat pada dimensi perilaku, aspek, atau sifat yang ditunjukkan oleh konsep (Sekaran, 2006 : 4). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 4 (empat) variabel independen dan 1 (satu) variabel dependen.
Tabel 3
Operasional Variabel Penelitian
Variabel
Konsep Variabel
Indikator
Skala Pengukuran
Ukuran KAP (Variabel X1)
Klasifikasi Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengaudit laporan keuangan perusahaan. (Theodorus Tuanakotta, 2011 : 265)


KAP the big 4 diberi kode 1, selain KAP the big 4 diberi kode 0.




Nominal




52
 
(Lanjutan)
Tabel 3
Ukuran Perusahaan (Variabel X2)
Proksi ukuran perusahaan diukur dengan besarnya total aset yang dimiliki perusahaan. (Theodorus Tuanakotta, 2011 : 230)



Total aset




Rasio


Leverage (Variabel X3)
Proksi leverage diukur dengan debt ratio, rasio utang jangka panjang terhadap total modal jangka panjang. (Brealey et. al, 2007 : 75)


Utang jangka panjang

Ekuitas



Rasio
Likuiditas (Variabel X4)
Proksi likuiditas diukur dengan current ratio, rasio lancar terhadap kewajiban lancar perusahaan. (Brealey et. al, 2007 : 78)


Aset lancar


Kewajiban lancar




Rasio
Kualitas laba (Variabel Y)
Proksi kualitas laba diukur dengan Kasznik Model (KM), model pembagian total akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner. (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011: 74-75)


Laba Bersih
Arus Kas Operasi
Aset tetap
Total Aset
Penjualan
Piutang Usaha






Rasio






Sumber: Diolah oleh penulis, 2013
3.3  Populasi dan Sampel
Populasi adalah sekumpulan data yang mengidentifikasi suatu fenomena (Singgih Santoso, 2008 : 4). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam sub sektor properti dan real estate yang berjumlah sebanyak 44 perusahaan (http://sahamok. com/emiten/sektor-property-real-estate/).
Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi. Dengan kata lain, sejumlah berarti tidak semua, elemen populasi akan membentuk sampel (Sekaran, 2006 : 123). Metode pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode judgement sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu dengan melibatkan pemilihan subjek yang berada di tempat yang paling menguntungkan atau dalam posisi terbaik untuk memberikan informasi yang diperlukan (Sekaran, 2006 : 137).
Di bawah ini merupakan beberapa kriteria yang digunakan dalam menentukan sampel yaitu :
1.      Tercatat sebagai emiten yang masih terdaftar sejak tahun 2008 sampai 2012 secara terus menerus yang melaporkan laporan keuangannya.
2.      Perusahaan properti dan real estate yang dalam laporan keuangannya tidak mengalami kerugian secara terus menerus selama tahun 2008-2012.
3.      Perusahaan properti dan real estate yang menyajikan laporan keuangannya dalam mata uang Rupiah.
4.      Perusahaan properti dan real estate yang memperoleh laba rata-rata di atas     Rp. 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) selama tahun 2008-2012.
Berdasarkan kriteria di atas, maka diperoleh sampel sebanyak 8 (delapan) perusahaan, yaitu sebagai berikut:
Tabel 4
Daftar Sampel Penelitian
No
Kode Saham
Nama Emiten
1
ASRI
PT Alam Sutera Realty Tbk
2
BSDE
PT Bumi Serpong Damai Tbk
3
CTRA
PT Ciputra Development Tbk
4
DUTI
PT Duta Pertiwi Tbk
5
JRPT
PT Jaya Real Property Tbk
6
LPKR
PT Lippo Karawaci Tbk
7
PWON
PT Pakuwon Jati Tbk
8
SMRA
PT Summarecon Agung Tbk
             Sumber : Diolah oleh penulis, 2013
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian yaitu Juli – Desember 2013.
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah dokumen. Telaah dokumen adalah teknik pengumpulan data dengan menelaah data atau dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini. Data atau dokumen yang ditelaah yaitu laporan keuangan perusahaan audited meliputi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan mengenai perusahaan yang menjadi sampel penelitian dalam rentan waktu 2008 – 2012.




3.5  Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menyajikan data mengenai ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage, likuiditas dan kualitas laba pada perusahaan sub sektor properti dan real estate untuk periode 2008-2012. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan regresi linier berganda.
Dalam penelitian ini, analisis regresi yang digunakan selain menggunakan variabel berskala rasio, juga menggunakan variabel yang bersifat kuantitatif atau skala nominal yang disebut variabel dummy. Cara pemberian kode dummy umumnya menggunakan kategori yang dinyatakan dengan angka satu atau nol. Kelompok yang diberi nilai dummy nol disebut excluded group, sedangkan kelompok yang diberi nilai dummy satu disebut include group. (Imam Ghozali, 2009 : 3).
Adapun pengolahan data untuk variabel dummy (variabel berskala nominal), dengan cara mengaktifkan “nominal” di kolom measure pada variable view saat penginputan data di lembar kerja SPSS (Agung Abdul Rasul, 2010 : 2-3; Duwi Priyatno, 2013 : 47).
Analisis dilakukan pada setiap sampel perusahaan untuk mengetahui pengaruh dan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Sementara itu, untuk menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengolahan data melalui program SPSS 16 (Statistical Product and Service Solution). Adapun analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi dua yaitu analisis akuntansi dan analisis statistik, yakni sebagai berikut :
1.      Analisis Akuntansi
Analisis akuntansi dilakukan dengan menghitung variabel-variabel penelitian dengan rumus berdasarkan teori yang ada yakni sebagai berikut :
1)      Rasio utang jangka panjang (long term debt ratio)
Proksi leverage diukur dengan rasio utang jangka panjang, yaitu rasio utang jangka panjang terhadap total modal jangka panjang. Rasio utang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio utang jangka panjang
=
Utang jangka panjang
Utang jangka panjang + ekuitas

2)      Rasio lancar (current ratio)
Proksi likuiditas diproksikan dengan rasio lancar, yaitu rasio aset lancar terhadap kewajiban lancar. Rasio lancar dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio lancar
=
Aset lancar
Kewajiban lancar

3)      Kasznik Model
Proksi kualitas laba diproksikan dengan akrual diskresioner metode kasznik model. Di mana tahap penghitungannya sebagai berikut:
(1)   Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAip = NIip - CFOip
(2)   Menentukan nilai parameter αp, βtp, β2p dan β3p dengan formula:
TAip =  αp + βtp (∆REVip - ∆RECip) + β2p PPEip + β3p∆CFip + eip
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset tahun sebelumnya (Aip-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAip/Aip-1 = αp + βtp (∆REVip - ∆RECip) / (Aip-1) + β2p PPEip / (Aip-1) + β3p∆CFip / (Aip-1) + eip
(3)   Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAip = αp + βtp (∆REVip - ∆RECip) / (Aip-1)+ β2p PPEip / (Aip-1) + β3p∆CFip / (Aip-1) + eip
(4)   Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan formula:
      DAip = TAip / Aip-1 - NDAip
Keterangan:
TAip                      = Total akrual perusahaan i dalam periode p
NIip                       = Laba bersih perusahaan i pada periode p
CFOip                   = Arus kas operasi perusahaan i pada periode p
NDAip                 = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada periode p
DAip                     = Akrual diskresioner perusahaan i pada periode p
Aip-1                       = Total aset perusahaan i pada periode p-1
∆REVip               = Perubahan penjualan bersih perusahaan i pada periode p
∆RECip               = Perubahan piutang usaha perusahaan i pada periode t
PPEip                            = Property, plant and equipment perusahaan i periode p
αp, βtp, β2p, β3p  = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi
eip                           = Error term perusahaan i pada periode p


2.      Analisis Statistik
Data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan bantuan program SPPS 16. Dalam melakukan pengujian, untuk mendapatkan hasil penelitian maka ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu :
1)      Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan pengujian hipotesis dengan analisis regresi berganda, perlu dilakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu. Uji asumsi klasik merupakan syarat dalam analisis regresi berganda agar hasil yang diperoleh valid dan tidak bias. Pengujian yang digunakan yaitu:
(1)   Uji Normalitas
Pengujian normalitas menurut Gujarati merupakan asumsi bahwa faktor kesalahan ui telah didistribusikan secara normal (2006 : 164).
Untuk menguji normalitas dapat dilihat dari: (1) distribusi Histogram, data dikatakan berdistribusi normal jika berbentuk seperti bel, (2) normal P-P Plot, uji normalitas terpenuhi jika pencaran data terletak di sekitar garis diagonal, (3) uji One Sample Kolmogorov-Smirnov, jika p-value lebih besar dari 0,05 maka uji normalitas terpenuhi (Sofyan Yamin, Lien A. Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 32-33).



(2)   Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui tidak ada hubungan linear yang nyata antara variabel-variabel penjelas. Seandainya terdapat lebih dari satu hubungan linear yang nyata di antara variabel-variabel penjelas, merupakan asumsi baru dan memerlukan penjelasan yang lebih rinci (Gujarati, 2006 : 184).
Uji multikolinearitas terpenuhi jika nilai tolerance lebih besar dari 0,1 dan nilai VIF lebih kecil dari 10 (Sofyan Yamin, Lien A. Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 120).
(3)   Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas ini semata-mata menyatakan bahwa distribusi beersyarat dari tiap populasi Y yang sesuai untuk nilai X tertentu mempunyai varians yang sama. Dalam hal ini, masing-masing nilai Y tersebar di sekitar nilai rata-ratanya dengan varians yang sama. Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka terjadi heteroskedastisitas atau varians tidak sama (Gujarati, 2006 : 146).
Untuk menguji heteroskedastisitas dapat dilihat dari Scatterplot, jika data berpencar secara acak maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Langkah lainnya dengan uji Glejser, di mana jika nilai p-value lebih besar dari 0,05 pada alfa 5% maka uji heteroskedastisitas telah terpenuhi (Sofyan Yamin, Lien A. Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 93-112).

(4)   Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui tidak ada korelasi di antara dua faktor kesalahan acak. Asumsi ini berarti bahwa tidak ada hubungan yang sistematis antara dua faktor kesalahan, singkatnya faktor kesalahan bersifat acak (Gujarati, 2006 : 147).
Autokorelasi sering terjadi dalam data time series karena dalam jenis data ini biasanya dipengaruhi oleh data sebelumnya. Autokorelasi dalam regresi linear dapat mengganggu suatu model, karena akan menyebabkan terjadinya kebiasaan pada kesimpulan yang diambil (Sofyan Yamin, Lien A. Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 73).
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat digunakan metode pengujian Durbin Watson (DW). Di mana jika nilai DW lebih besar daripada batas atas DW tabel (dU) dan lebih kecil daripada (4 – dU) maka tidak terjadi autokorelasi. Namun jika hasil pengujian terdapat masalah autokorelasi, maka salah satu cara menanganinya dengan diketahui atau tidaknya koefisien autokorelasi. Jika nilai autokorelasi (ρ) tidak diketahui, nilai ρ harus ditaksir terlebih dahulu dari model, salah satunya dengan metode Cochrane-Orcutt (Sofyan Yamin, Lien Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011 : 75).
2)   Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linear berganda digunakan untuk memprediksi pengaruh lebih dari satu variabel bebas terhadap satu variabel tergantung, baik secara parsial maupun simultan. Penelitian ini menggunakan empat variabel bebas, maka persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:


Ŷ = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e
 
 


Keterangan:
Ŷ                        =  Kualitas laba
a                         =  Konstanta
b1, b2, b3, b4           =  Koefisien regresi masing-masing variabel independen
X1                       =  Ukuran KAP
X2                       =  Ukuran Perusahaan
X3                       =  Leverage
X4                       =  Likuiditas
e                         =  Error
3)  Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya serta untuk mengetahui pengaruh nyata (signifikansi) variabel independen terhadap variabel dependen baik secara parsial (uji t) maupun secara simultan (uji F) :
(1)   Uji Regresi Parsial (Uji t)
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen secara individual terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan.
Pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan uji signifikansi atau pendekatan interval keyakinan (Gujarati, 2006 : 190).
Untuk pendekatan signifikansi kriterianya yaitu jika signifikansi di bawah 0,05 maka variabel bebas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen, sehingga hipotesis diterima. Sebaliknya jika probabilitas signifikansi di atas 0,05 maka hipotesisnya ditolak (Sofyan Yamin, Lien Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011 : 37).
(2)   Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Pengujian ini untuk mengetahui apakah semua variabel independen dalam model mempunyai pengaruh secara simultan terhadap variabel dependen. Jika nilai signifikansi kurang dari 0,05 pada alfa 5% maka hipotesis diterima yang berarti semua variabel independen mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen, namun jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 maka hipotesis ditolak (Sofyan Yamin, Lien Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011 : 37).
(3)   Analisis Koefisien Determinasi (R2)
Analisis ini memberikan ukuran menyeluruh dari kecocokan garis regresi yang ditaksir (Gujarati, 2006 : 189).
Dengan kata lain R2 digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan model dapat menerangkan variasi dependen. Nilai koefisien determinasi antara 0 dan 1. Nilai (R2) yang paling kecil berarti kemampuan variabel-variabel dalam menjelaskan variasi variabel dependen sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen.




BAB V

 
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.   Berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya, maka terlihat hasil model regresi berganda sebagai berikut:
      Ŷ = -0,043 – 0,035X1 + 0,002X2 + 0,116X3 + 0,002X4
      Model regresi berganda tersebut telah diuji kelayakan asumsi normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Hasil dari seluruh pengujian tersebut menunjukkan bahwa model regresi berganda di atas layak untuk menjelaskan variabel dependen dan hasil uji asumsi klasik tersebut telah memenuhi kriteria Best Linier Unbiased Estimator (BLUE).
136
 
2.   Berdasarkan uji hipotesis koefisien regresi berganda secara parsial (uji t), diperoleh hasil ukuran KAP, ukuran perusahaan dan leverage berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba, dibuktikan dengan signifikansi masing-masing variabel sebesar 0,001; 0,036 dan 0,000, serta t hitung masing-masing sebesar -3,549; 2,186 dan 4,120 > t tabel 2,030 atau < t tabel -2,030. Adapun variabel likuiditas tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba, dibuktikan dengan hasil t hitung 1,014 < t tabel 2,030 dan signifikansi sebesar 0,318 > 0,05.
3.   Hasil perhitungan melalui tabel ANOVA (uji F) menyatakan bahwa secara simultan ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas laba, karena nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 dan nilai Fhitung sebesar 8,186 > Ftabel 2,641.
4.   Berdasarkan hasil uji koefisien determinasi menunjukkan besarnya R2 sebesar 0,483 atau 48,3%. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 48,3% variasi variabel dependen yaitu kualitas laba dapat dijelaskan oleh variabel ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas. Sedangkan sisanya sebesar 51,7% dipengaruhi atau dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini, seperti mekanisme Good Corporate Governance, Investment Opportunity Set, pertumbuhan laba dan profitabilitas.
5.2 Saran-saran
            Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat penulis berikan yaitu sebagai berikut:
1.      Variabel independen yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas laba adalah likuiditas. Hal ini kemungkinan dikarenakan tingginya likuiditas tidak dapat menjamin perusahaan tersebut dapat melunasi kewajiban jangka pendeknya saat jatuh tempo, karena aset lancar lebih didominasi oleh akun-akun non kas dan setara kas. Oleh karena itu, disarankan kepada pemakai laporan keuangan dan peneliti selanjutnya untuk menggunakan cash ratio dalam mengukur tingkat likuiditas.
2.      Bagi para pemakai laporan keuangan yang akan menilai kualitas laba suatu perusahaan agar tidak hanya melihat dari ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas saja, tetapi dinilai juga dari faktor-faktor lainnya seperti mekanisme Good Corporate Governance (GCG), Investment Opportunity Set (IOS), pertumbuhan laba dan profitabilitas perusahaan.
3.      Untuk peneliti selanjutnya disarankan untuk memperluas populasi, menambah tahun penelitian, menambah jumlah sampel yang tidak terbatas hanya pada perusahaan properti dan real estate saja, dan dalam pengambilan sampel agar menambahkan kriteria sampel yang lebih spesifik, seperti jenis barang/jasa yang dihasilkan dan minimum laba yang diperoleh selama periode penelitian, agar hasil penelitian selanjutnya lebih tepat dan akurat. Selain itu,  perlu juga menggunakan variabel lainnya dalam menilai kualitas laba perusahaan, dan disarankan untuk menggunakan pengukuran kualitas laba yang lain seperti Earning Response Coefficient (ERC) atau manajemen laba secara riil.




DAFTAR PUSTAKA


Agung Abdul Rasul, (2010). Praktikum Statistika Ekonomi dan Bisnis dengan SPSS. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Agung Suaryana. (2005). “Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba”. Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo. Denpasar: Universitas Udayana.

Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko. (2007). “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”. Simposium Nasional Akuntansi X Makassar. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Antonius Herusetya. (2009). “Pengaruh Ukuran Auditor dan Spesialisasi Auditor terhadap Kualitas Laba”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol.6, 1. Surabaya: Universitas Pelita Harapan.

Aprilia Meriane. (2010). “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan (Pada Perusahaan Industri Manufaktur di BEI)”. Skripsi. Padang: Universitas Andalas.

Arens, Alvin A, Randal J. Elder dan Mark S. Beasley, (2003). Auditing dan Pelayanan Verifikasi (Jilid Satu Edisi Ke-9). Jakarta: Indeks.

Boynton, William C, Raymond N. Johnson dan Walter G. Kell, (2003). Modern Auditing (Jilid dua Edisi ke-7). Jakarta: Erlangga.

Brealey, Richard A, Stewart C. Myers dan Alan J. Marcus, (2008). Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan (Jilid dua Edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.

Budi Riza. (8 Juli 2004). Koran Tempo – Bapepam Temukan Indikasi Pelanggaran dalam Kasus Indofarma. http://kumpulanberitalama. blogspot.com/2012/10/korantempo-bapepam-temukan-indikasi.html.

Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, (2011). Creative Accounting: Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.

Dhian Eka Irawati. (2012). “Pengaruh Sruktur Modal, Pertumbuhan Laba, Ukuran Perusahaan dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba”. Accounting Analysis Journal 1. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Dul Muid. (2009). “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas Laba”. Fokus Ekonomi Vol 4, 2. Semarang: UNDIP Semarang.

Duwi Priyatno, (2013). Mandiri Belajar Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Mediakom.

Dwi Prastowo, (2011). Analisis Laporan Keuangan Konsep dan Aplikasi (Edisi ke-3). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Gideon Boediono. (2005). “Kualitas Laba : Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur”. Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo. Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.

Gujarati, Damodar N, (2006). Dasar-dasar Ekonometrika (Jilid Satu Edisi ke-3). Jakarta: Erlangga.

Hall, James A, (2007). Sistem Informasi Akuntansi (Buku Satu Edisi ke-14). Jakarta: Salemba Empat.

Horngren, Charles T dan Walter T. Harrison, (2007). Akuntansi (Edisi Ke-7). Jakarta: Erlangga.

Ikatan Akuntan Indonesia, (2012). Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juni 2012. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia.

Imam Ghozali (2009). Analisis Multivariate Lanjutan dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

J. Supranto, (2009). Statistik: Teori dan Aplikasi (Jilid Dua Edisi ke-7). Jakarta: Erlangga.

Kieso, Donald E, Jerry J. Weygandt dan Terry D. Warfield, (2008). Akuntansi Intermediate (Jilid satu Edisi ke-12). Jakarta: Erlangga.

Kuswadi, (2005). Meningkatkan Laba melalui Pendekatan Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Biaya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Ronny Kountur. (13 September 2013). Pengertian Risiko dalam Operasional Organisasi.http://manajemenppm.wordpress.com/2013/09/13/pengertian-risiko-dalam-operasional-organisasi/.

Sadono Sukirno, (2005). Mikro Ekonomi Teori Pengantar (Edisi Ke-21). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sekaran, Uma (2006). Metodologi Penelitian untuk Bisnis (Buku Dua Edisi ke-4). Jakarta: Salemba Empat.

Sensi Ludovicus. (2007). “Memahami Lebih Jauh Aspek Earnings Management, Financial Shenanigans, dan Rekayasa Keuangan”. Economics Business & Accounting Review Volume II No. 1. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.

Singgih Santoso, (2008). Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Sofyan Yamin, Lien Rachmach dan Heri Kurniawan, (2011). Regresi dan Korelasi dalam Genggaman Anda. Aplikasi dengan Software SPSS, EViews, Minitab dan Statgraphics. Jakarta: Salemba Empat.

Song, Oky Marlina. (2012). “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba Perusahaan Perbankan Umum yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2009”. Skripsi. Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Sri Sulistyanto, (2008). Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Stice, Earl K, James D. Stice dan K. Field Skousen, (2004). Akuntansi Intermediate (Buku Satu Edisi ke-15). Jakarta: Salemba Empat.

Syahrul Yura. (21 November 2002). Koran Tempo - Bapepam: Kasus Kimia Farma Kesalahan Manajemen Lama. http://kumpulanberitalama. blogspot.com/2013/04/korantempo-bapepam-kasus-kimia-farma.html.

Tim Penyusun, (2011). Pedoman Penyusunan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UHAMKA.

Tuanakotta, Theodorus, (2007). Setengah Abad Profesi Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.

                                       , (2011). Berpikir Kritis dalam Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Warren, Carl S, James W. Reeve dan Philip E. Fees, (2008). Pengantar Akuntansi (Buku satu Edisi ke-21). Jakarta: Salemba Empat.

www.idx.co.id

Zaki Baridwan, (2004). Intermediate Accounting (Edisi ke-8). Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.