|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Peran
laporan keuangan dewasa ini sangat penting dalam menunjang pengambilan
keputusan ekonomi. Hasil survei Sulistiawan dan Feliana (2001) tentang sumber
informasi yang paling relevan untuk pengambilan keputusan investasi saham di
Indonesia, menunjukkan bahwa laporan keuangan dominan digunakan untuk
kepentingan investor institusi dan
analis saham/keuangan. Berdasarkan hasil survei tersebut, laporan keuangan
tahunan menempati peringkat pertama sebagai dasar pengambilan keputusan bagi
analis keuangan, begitu pula bagi institusi keuangan, di mana laporan keuangan
interim menjadi informasi pertama yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan (Dedhy
Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 10). Data lengkap hasil
survei terdapat dalam lampiran 1 (satu).
|
Creative
accounting memungkinkan perusahaan untuk memilih
metode, estimasi dan praktik akuntansi yang dapat memenuhi ekspektasi laba yang
diinginkan manajemen. Dengan dasar akrual memungkinkan manajer untuk melakukan
rekayasa laba guna menaikkan atau menurunkan angka akrual dalam laporan laba
rugi.
Kelonggaran yang diberikan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) dalam memilih metode akuntansi yang digunakan dalam
penyusunan laporan keuangan, dapat dimanfaatkan perusahaan untuk menghasilkan
nilai laba yang berbeda-beda di setiap perusahaan.
Praktik manajemen laba ini banyak
digunakan oleh perusahaan yang akan go
public maupun yang sudah go public.
Di mana perusahaan yang akan go public
akan melakukan penawaran saham perdananya melalui proses Initial Public Offerings (IPO) untuk memperoleh tambahan dana dari
investor. Sementara perusahaan yang sudah go
public bermotivasi untuk melanjutkan usaha dan ekspansi melalui penawaran
kedua, penawaran ketiga dan seterusnya.
Terungkapnya kasus penggelembungan (mark up) laba bersih yang terjadi pada
PT Kimia Farma Tbk, sebagaimana yang dimuat dalam situs koran tempo tanggal 21
November 2002, menjadi bukti maraknya praktik manajemen laba. Kasus PT Kimia
Farma Tbk ini bermula dari ditemukannya kesalahan oleh partner dari KAP Hans Tuanakotta & Mustafa (HTM) dalam
penilaian persediaan barang jadi dan kesalahan pencatatan penjualan untuk
laporan keuangan periode 31 Desember 2001. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh
BAPEPAM, ternyata laba bersih yang disajikan dalam laporan keuangan PT Kimia
Farma Tbk untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 overstated sebesar Rp 32,668 miliar, di mana laba bersih yang seharusnya Rp 99,594
miliar dicatat menjadi Rp 132,263 miliar. Kesalahan pencatatan ini ditemukan
oleh kantor akuntan publik HTM menjelang pemerintah akan melakukan divestasi
(pelepasan saham) tahap kedua di Kimia Farma pada Mei 2002. Sementara kesalahan
pencatatan ditemukan pada laporan keuangan tahun 2001 yang digunakan saat
pelaksanaan divestasi melalui penawaran saham perdana (IPO) (Syahrul:
2002, http://kumpulanberitalama.
blogspot.com/2013/04/korantempo-bapepam-kasus-kimia-farma.html).
Fenomena tersebut senada dengan
penelitian Gumanti (2001) tentang perilaku manajemen laba pada perusahaan
manufaktur dengan periode amatan dua tahun sebelum go public. Hasilnya ditemukan bahwa terdapat praktik manajemen laba
dalam seputar IPO. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan laba secara signifikan
dari manipulasi aktivitas akrual pada dua tahun sebelum IPO pada
perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Jakarta (sebelum menjadi Bursa Efek
Indonesia) (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 35).
Kasus hampir serupa terjadi pada PT
Indofarma Tbk, sebagaimana yang dimuat dalam situs koran tempo tanggal 8 Juli
2004, dan press release yang
dikeluarkan oleh BAPEPAM pada tanggal 8 November 2004. Laporan keuangan yang
disajikan PT Indofarma Tbk tahun 2001 terdeteksi overstated dalam penyajian nilai barang dalam proses yang mencapai
Rp 28 miliar. Akibat kelebihan penyajian tersebut, nilai harga pokok produksi
menjadi lebih rendah yang kemudian berdampak pada overstated laba bersih. (Riza: 2004, http:// kumpulanberitalama. blogspot.
com/ 2012 /10 / korantempo - bapepam-temukan -indikasi.html.
Penelitian Herusetya (2009) belum dapat
memberi bukti yang konsisten bahwa terdapat perbedaan dalam kualitas laba bagi
perusahaan yang diaudit baik oleh auditor the
big 4. Sementara penelitian Rachmawati dan Triatmoko (2007) menghasilkan
ukuran KAP berpengaruh negatif terhadap discretionary
accruals (kualitas laba). Di mana dengan meningkatnya kualitas audit maka
perilaku oportunis manajer dapat dibatasi.
Ukuran perusahaan merupakan ukuran besar
kecilnya perusahaan. Di mana ukuran perusahaan berhubungan dengan kualitas laba
karena semakin besar perusahaan maka kelangsungan usaha (going concern) perusahaan semakin tinggi dalam meningkatkan kinerja
keuangan. Sebagaimana penelitian Irawati (2012) yang menghasilkan struktur
modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan dan likuiditas berpengaruh terhadap
kualitas laba.
Leverage
merupakan rasio untuk mengetahui seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai
oleh hutang. Leverage dapat
mempengaruhi kualitas laba, karena jika aset perusahaan lebih banyak dibiayai
oleh hutang, maka perusahaan dapat dinilai tidak dapat menjaga keseimbangan
keuangan antara penggunaan dana dengan modal/dana yang tersedia. Dengan
demikian, jika tingkat leverage
semakin tinggi maka kualitas laba akan semakin rendah.
Likuiditas adalah kemampuan suatu
perusahaan untuk memenuhi hutang jangka pendeknya dengan aset lancar yang
dimiliki. Likuiditas dapat mempengaruhi kualitas laba, karena jika tingkat
likuiditas perusahaan tinggi menunjukkan bahwa perusahaan mampu membayar
kewajibannya, yang berarti kinerja keuangannya baik sehingga tidak perlu
melakukan manajemen laba.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas terhadap kualitas laba. Sehingga penulis
tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh
Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), Ukuran Perusahaan, Leverage dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba pada Perusahaan Properti
dan Real Estate yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI)”.
1.2
Permasalahan
Dalam
suatu penelitian hal yang terlebih dahulu harus dilakukan yaitu menentukan
permasalahan. Adapun masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1.2.1
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat
mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :
1.
Apakah ukuran KAP
berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
2.
Apakah ukuran
perusahaan berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
3.
Apakah leverage berpengaruh terhadap kualitas
laba pada perusahaan properti dan real
estate ?
4.
Apakah likuiditas
berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?
5.
Apakah ukuran KAP,
ukuran perusahaan, leverage dan
likuiditas secara simultan berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti
dan real estate ?
1.2.2
Pembatasan Masalah
Penelitian
ini terbatas pada perusahaan properti dan real
estate yang telah go public di
Bursa Efek Indonesia (BEI) selama kurun waktu pengamatan pada tahun 2008 sampai
tahun 2012. Selain itu, penelitian ini terbatas untuk menguji apakah ukuran
KAP, ukuran perusahaan, leverage dan
likuiditas berpengaruh dengan kualitas laba.
1.2.3
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ukuran KAP, ukuran
perusahaan, leverage dan likuiditas
berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate ?”.
1.3
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah diuraikan di
atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui pengaruh ukuran KAP terhadap kualitas laba pada perusahaan properti
dan real estate.
2. Untuk
mengetahui pengaruh ukuran perusahaan terhadap kualitas laba pada perusahaan properti
dan real estate.
3. Untuk
mengetahui pengaruh leverage terhadap
kualitas laba pada perusahaan properti dan real
estate.
4. Untuk
mengetahui pengaruh likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti
dan real estate.
5. Untuk
mengetahui pengaruh secara simultan ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas secara simultan
terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
1.4
Manfaat
Penelitian
Di
samping tujuan di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,
antara lain sebagai berikut :
1. Manfaat
teoritis
Penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh ukuran KAP,
ukuran perusahaan, leverage dan
likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
2.
Manfaat praktis
1). Bagi penulis
Sebagai
wadah untuk menerapkan materi teoritis yang didapat dalam bangku perkuliahan
dan memadukannya dengan praktik yang terjadi di lapangan.
2). Bagi calon investor
Diharapkan
dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan
investasi di perusahaan.
3). Bagi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UHAMKA
Sebagai
bahan referensi di perpustakaan UHAMKA serta menambah informasi mengenai
pengaruh ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage
dan likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti dan real estate.
4). Bagi pihak lain
Sebagai
bahan referensi tambahan bagi pembaca dan menambah pengetahuannya terutama
mengenai pengaruh ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan properti
dan real estate.
BAB II
|
2.1
Gambaran
Penelitian Terdahulu
|
Agung Suaryana,
Universitas Udayana Denpasar (2005) tentang Pengaruh Komite Audit terhadap
Kualitas Laba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien
respon laba perusahaan yang membentuk komite audit lebih besar dari perusahaan
yang tidak membentuk komite audit. Sampel yang digunakan adalah perusahaan
manufaktur dan non manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) untuk periode
2001 sampai dengan 2002. Hasil koefisien variabel Unexpected Earnings (UE), komite
dan UE komite masing-masing sebesar 1,850, 1,570, dan 2,417. Tingkat
signifikansi koefisien UE, komite dan UE komite masing-masing sebesar 0,065,
0,117 dan 0,016. Nilai t hitung UE komite kurang dari 0,05 menunjukkan adanya
perbedaan secara statistis signifikan nilai ERC, antara perusahaan yang
membentuk komite dan perusahaan yang tidak membentuk komite. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pasar menilai laba yang dilaporkan oleh perusahaan yang
membentuk komite audit memiliki kualitas yang lebih baik dari pada laba yang
dilaporkan oleh perusahaan yang tidak membentuk komite audit.
Gideon Boediono,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (2005) tentang Kualitas
Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mekanisme corporate governance (kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, dan komposisi dewan komisaris) terhadap
manajemen laba dan kualitas laba. Sampel yang digunakan adalah perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan periode pengamatan tahun
1996 sampai dengan tahun 2002, sebanyak 96 perusahaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mekanisme corporate
governance berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba sebesar
0,3018. Secara parsial, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan
komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba dengan
signifikansi masing-masing sebesar 0,2362, 0,1332 dan 0,0146. Hasil penelitian
berikutnya menunjukkan mekanisme corporate
governance dan manajemen laba
berpengaruh terhadap kualitas laba sebesar 0,4480. Secara parsial, variabel
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komposisi dewan komisaris
dan manajemen laba berpengaruh terhadap kualitas laba dengan signifikansi
masing-masing sebesar 0,0784, 0,2028, 0,0529 dan 0,0256.
Dhian Eka Irawati, Universitas
Negeri Semarang (2012) tentang Pengaruh Struktur Modal, Pertumbuhan Laba,
Ukuran Perusahaan dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran
perusahaan dan likuiditas terhadap kualitas laba pada perusahaan manufaktur di
BEI tahun 2008-2010. Sampel yang digunakan sebanyak 33 perusahaan manufaktur
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Metode analisis yang digunakan
adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur
modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan, dan likuiditas secara simultan
berpengaruh terhadap kualitas laba dengan nilai signifikansi 0,040. Secara
parsial, struktur modal dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kualitas
laba. Pertumbuhan laba dan likuiditas berpengaruh negatif terhadap kualitas
laba dengan nilai signifikansi 0,032 dan 0,008.
Dul Muid, UNDIP Semarang
(2009) tentang Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance terhadap Kualitas Laba. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh mekanisme corporate governance
terhadap kualitas laba yang diproksikan discretionary
accruals, di mana mekanisme corporate
governance yang digunakan yaitu kepemilikan manajerial, dewan komisaris,
komite audit, dan kepemilikan institusional. Sampel yang digunakan sebanyak 188
perusahaan di bidang manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
selama tahun 2004-2005. Metode pemilihan menggunakan metode purposive sampling, dan metode
penelitian menggunakan regresi berganda. Hasil pengujian memberikan bukti
empiris bahwa kepemilikan manajerial (koefisien regresi sebesar -3,503 dengan
tingkat signifikasi 0,000) dan kepemilikan institusional (koefisien regresi
sebesar -0,188 dengan tingkat signifikansi 0,006) secara positif dan signifikan
berpengaruh terhadap kualitas laba, sedangkan dewan komisaris dan komite audit
tidak berpengaruh secara signifikan.
Andri Rachmawati dan
Hanung Triatmoko, Universitas Sebelas Maret Surakarta (2007) tentang Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Investment
Opportunity Set (IOS) dan mekanisme corporate
governance (komite audit, dewan komisaris, kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional) terhadap kualitas laba. Sampel yang digunakan yaitu
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama periode
2001-2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Investment Opportunity Set (IOS) berpengaruh signifikan terhadap
kualitas laba dan nilai perusahaan dengan nilai Fhitung sebesar
5,849 dan signifikansi 0,000. Kepemilikan manajerial (thitung 1,240)
dan kepemilikan institusional (thitung 2,649) berpengaruh signifikan
terhadap nilai perusahaan tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas
laba, komite audit dan dewan komisaris (0,839 > 0,05) tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan.
Tabel 1
Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
No
|
Peneliti
|
Judul
|
Variabel
|
Hasil
|
1.
|
Agung Suaryana, Universitas Udayana Denpasar (2005)
|
Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba
|
Komite audit dan kualitas laba
|
Koefisien respon laba perusahaan yang membentuk komite
audit secara statistik lebih besar dari pada perusahaan yang tidak membentuk
komite audit.
|
2.
|
Gideon Boediono, UPN “Veteran” Yogyakarta (2005)
|
Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak
Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur
|
Mekanisme corporate
governace (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komposisi
dewan komisaris), manajemen laba dan kualitas laba
|
Secara simultan, pengaruh kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris terhadap manajemen laba
lemah. Secara parsial, pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial dan dewan komisaris terhadap manajerial
|
(Lanjutan)
Tabel 1
|
||||
|
|
|
|
cukup kuat, lemah dan sangat lemah. Secara simultan,
pengaruh mekanisme corporate governace
dan manajemen laba terhadap kualitas laba cukup kuat. Secara parsial,
pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris
dan manajemen laba terhadap kualitas laba lemah, lemah, lemah dan sangat
lemah.
|
3.
|
Dhian Eka Irawati, Universitas Negeri Semarang (2012)
|
Pengaruh Struktur Modal, Pertumbuhan Laba, Ukuran
Perusahaan dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba
|
Struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan,
likuiditas dan kualitas laba
|
Struktur modal, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan dan
likuiditas secara simultan berpengaruh terhadap kualitas laba. Secara
parsial, struktur modal dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kualitas
laba. Pertumbuhan laba dan likuiditas berpengaruh negatif terhadap kualitas
laba.
|
4.
|
Dul Muid, UNDIP Semarang (2009)
|
Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance terhadap Kualitas Laba
|
Mekanisme corporate
governance yaitu kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komite audit,
|
Kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional
secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap kualitas laba, sedangkan
dewan komisaris dan komite
|
(Lanjutan)
Tabel 1
|
||||
|
|
|
dan kepemilikan institusional,
serta kualitas laba
|
audit
tidak berpengaruh secara signifikan.
|
5.
|
Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko, Universitas
Sebelas Maret Surakarta (2007)
|
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba
dan Nilai Perusahaan
|
Investment
Opportunity Set (IOS) dan mekanisme corporate
governance (komite audit, dewan komisaris, kepemilikan manajerial,
kepemilikan insttusional) serta kualitas laba dan nilai perusahaan
|
Investment
Opportunity Set (IOS) berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba dan
nilai perusahaan; kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional
berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan tetapi tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas laba; komite audit dan dewan komisaris tidak
berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan.
|
Sumber : Diolah oleh penulis, 2013
Adapun
beberapa perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu :
1. Penelitian
sekarang menggunakan 4 (empat) variabel independen yaitu, ukuran Kantor Akuntan
Publik (KAP), ukuran perusahaan, leverage
dan likuiditas. Serta 1 (satu) variabel dependen yaitu kualitas laba.
2. Penelitian
sekarang dilaksanakan di perusahaan properti dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3. Penelitian
dilakukan pada tahun 2013 dengan periode pengamatan selama tahun 2008 - 2012.
2.2 Telaah Pustaka
2.2.1 Akuntansi
Menurut Warren, et. al (2008 :
10) akuntansi adalah sistem informasi yang menghasilkan laporan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas ekonomi dan kondisi
perusahaan.
Sedangkan menurut Arens, et. al
(2003 : 18) definisi akuntansi yaitu proses pencatatan, pengklasifikasian,
serta pengikhtisaran kejadian-kejadian ekonomi dengan perlakuan yang logis yang
bertujuan menyediakan informasi keuangan, yang dapat digunakan dalam
pengambilan keputusan.
Senada dengan kedua pendapat di atas,
Horngren, et. al (2007 : 4)
memberikan definisi akuntansi adalah sistem informasi yang mengukur aktivitas
bisnis, memroses data menjadi laporan dan mengomunikasikan hasilnya kepada para
pengambil keputusan.
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses akuntansi merupakan suatu proses
pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan informasi ekonomi
yang memiliki tujuan akhir untuk mengkomunikasikan data yang relevan dan andal,
sehingga dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan
keputusan.
2.2.2 Laporan Keuangan
2.2.2.1 Pengertian Laporan Keuangan
Laporan
keuangan menurut Zaki Baridwan (2004 : 17) yaitu, “Ringkasan dari suatu proses
pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang
terjadi selama tahun buku yang bersangkutan”.
Menurut
Warren, et. al (2008 : 24), laporan
keuangan merupakan laporan akuntansi yang menghasilkan informasi mengenai
pencatatan dan pengikhtisaran transaksi yang disiapkan bagi pemakai laporan.
Adapun
menurut Kieso, et. al (2008 : 2), laporan
keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada
pihak-pihak di luar perusahaan.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan laporan keuangan merupakan ringkasan
dari suatu proses pencatatan dan pengikhtisaran transaksi-transaksi keuangan
yang terjadi selama periode bersangkutan, yang disiapkan untuk pemakai laporan
keuangan dan sebagai sarana pengkomunikasian kepada pihak-pihak di luar
perusahaan.
2.2.2.2 Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan
laporan keuangan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2012 : 3) yaitu,
“Menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta
perubahan posisi keuangan suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar
pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi”.
Menurut
Dwi Prastowo (2011 : 5-6) laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi
yang menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan posisi keuangan suatu
perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Di mana informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan
perubahan posisi keuangan sangat diperlukan untuk mengevaluasi kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas, dan waktu serta kepastian
dari hasil tersebut.
Informasi
kinerja perusahaan terutama profitabilitas diperlukan untuk menilai perubahan
potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa depan, sehingga
dapat memprediksi kapasitas perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas
serta untuk merumuskan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan
sumber daya.
Informasi
perubahan posisi keuangan perusahaan bermanfaat untuk menilai aktivitas
investasi, pendanaan, dan operasi perusahaan selama periode pelaporan, serta
berguna untuk menilai kebutuhan perusahaan dalam memanfaatkan arus kas
tersebut.
Statement of Financial
Accounting Concepts (SFAC) Nomor 1 dalam Zaki Baridwan
(2004 : 2-3) menyatakan bahwa pelaporan keuangan harus menyajikan informasi
yang:
1.
Berguna bagi investor dan kreditur yang ada dan yang
potensial dan pemakai lainnya untuk membuat keputusan investasi, pemberian
kredit dan keputusan lainnya. Informasi yang disajikan harus memadai bagi
mereka yang mempunyai pemahaman yang memadai tentang kegiatan dan usaha
perusahaan dan aktivitas-aktivitas ekonomi bisnis serta bermaksud untuk
menelaah informasi tersebut secara seksama.
2.
Dapat membantu investor serta kreditur yang ada dan
yang potensial dan para pemakai lainnya untuk menaksir jumlah, penetapan waktu,
dan ketidakpastian dari penerimaan uang di masa yang akan datang yang berasal
dari dividen atau bunga dan hasil dari penjualan, pelunasan, atau jatuh tempo
surat-surat berharga atau pinjaman. Karena rencana penerimaan dan pengeluaran
uang seorang kreditur itu berkaitan dengan cash
flow dari perusahaan, pelaporan keuangan harus menyajikan informasi untuk
membantu investor, kreditur dan pihak lainnya untuk memperkirakan jumlah, waktu
dan ketidakpastian dari aliran kas masuk (sesudah dikurangi kas keluar) di masa
datang untuk perusahaan tersebut.
3.
Menunjukkan sumber-sumber ekonomi dari sebuah
perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut (kewajiban perusahaan untuk
mentransfer sumber daya ke perusahaan lainnya dan ekuitas pemilik), dan
pengaruh dari transaksi-transaksi, kejadian-kejadian, serta keadaan-keadaan
yang mempengaruhi sumber daya perusahaan dan klaim pihak lain atas sumber daya
tersebut.
2.2.2.3
Pemakai Laporan Keuangan
Menurut
Dwi Prastowo (2011 : 3-5) terdapat 8 (delapan) pemakai laporan keuangan untuk
memenuhi beberapa kebutuhan informasi yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
1.
Investor
Investor berkepentingan terhadap risiko yang melekat dan hasil
pengembangan dari investasi yang dilakukannya. Investor membutuhkan informasi
ini untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan, atau menjual
investasi tersebut, serta ketertarikan pada informasi yang memungkinkan
melakukan penilaian terhadap kemampuan perusahaan dalam membayar dividen.
2.
Kreditur (pemberi pinjaman)
Kreditur membutuhkan informasi untuk memutuskan apakah pinjaman serta
bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
3.
Pemasok dan kreditur usaha lainnya
Pemasok dan kreditur usaha lainnya membutuhkan informasi untuk membantu
memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo.
Kreditur usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih
pendek dibandingkan dengan pemberi pinjaman.
4.
Shareholders
(para pemegang saham)
Para pemegang saham berkepentingan dengan informasi mengenai kemajuan
perusahaan, pembagian keuntungan yang akan diperoleh, dan penambahan modal
untuk business plan berikutnya.
5.
Pelanggan
Pelanggan berkepentingan mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama
jika mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan atau bergantung
pada perusahaan.
6.
Pemerintah
Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya
berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan oleh karenanya berkepentingan
dengan aktivitas perusahaan. Selain itu, mereka juga membutuhkan informasi
untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak dan sebagai
dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.
7.
Karyawan
Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakilinya tertarik pada informasi
mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik pada
informasi yang memungkinkan mereka melakukan penilaian atas kemampuan
perusahaan dalam memberikan imbalan jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja.
8.
Masyarakat
Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara, seperti
pemberian kontribusi pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang
dipekerjakan dan perlindungan kepada para penanam modal domestik. Laporan
keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan
dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya.
2.2.2.4
Komponen Laporan Keuangan
Menurut
Ikatan Akuntan Indonesia (2012 : 1.4, paragraf 8), komponen laporan keuangan
lengkap terdiri dari:
1.
Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode.
2.
Laporan laba rugi komprehensif selama periode.
3.
Laporan perubahan ekuitas selama periode.
4.
Laporan arus kas selama periode.
5.
Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan
kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain.
6.
Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif
yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara
retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau
ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
Informasi
utama yang ada dalam laporan posisi keuangan yaitu aset, kewajiban dan ekuitas.
Aset yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh perusahaan, memiliki manfaat
ekonomis, dan berasal dari transaksi pada masa lalu. Kewajiban yaitu segala
pengorbanan ekonomis pada masa mendatang dari hasil transaksi atau kejadian
pada saat ini. Ekuitas yaitu nilai sisa dari aset atau aset dikurangi
kewajiban. Informasi yang ada di dalamnya adalah modal kontribusi atau modal
yang berasal dari setoran pemilik serta saldo laba.
Laporan
laba rugi komprehensif berisi kinerja perusahaan dalam satu periode, umumnya
selama satu tahun. Dalam laporan laba rugi, nilai penjualan atau pendapatan
dikurangi biaya menjadi laba. Secara umum, makin besar labanya, kinerja sebuah
perusahaan dianggap semakin baik. Laporan laba rugi dan neraca disusun
menggunakan prinsip berbasis akrual, yaitu pencatatan disusun berdasarkan pada
saat terjadinya transaksi.
Laporan
perubahan ekuitas merupakan gambaran yang lebih detail dari bagian ekuitas
dalam laporan posisi keuangan. Beberapa akun yang berhubungan antara lain
laba/rugi bersih, saldo akumulasi laba dan transaksi modal pemilik, termasuk
dividen.
Laporan
arus kas dibagi menjadi tiga bagian, yaitu arus kas operasional, investasi dan
pendanaan. Arus kas operasional mencerminkan kinerja operasional perusahaan
dengan berbasis penerimaan dan pengeluaran kas. Sementara untuk bagian arus kas
investasi dan pendanaan, nilai yang besar atau kecil tidak menunjukkan baik
atau buruknya kinerja perusahaan, melainkan harus dilihat konteksnya terlebih
dahulu.
Catatan
atas laporan keuangan berisi catatan dan penjelasan kualitatif dari laporan
keuangan sebelumnya, termasuk perhitungan-perhitungan yang relevan dengan akun yang
disajikan dalam laporan keuangan lain. Kumpulan informasi yang ada dalam
catatan atas laporan keuangan adalah bagian dari pengungkapan (disclosure) yang aturannya untuk
perusahaan go public diatur oleh
BAPEPAM. (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 5-9).
2.2.2 Kualitas Laba
2.2.2.1 Pengertian Kualitas Laba
Kualitas
merupakan penilaian baik atau buruk dari suatu benda. Adapun laba menurut
Warren, et. al (2008 : 2) yaitu, selisih
antara jumlah yang diterima dari pelangggan atas barang atau jasa yang
dihasilkan dengan jumlah yang dikeluarkan untuk membeli sumber daya alam dalam
menghasilkan barang atau jasa tersebut.
Senada
dengan Warren, menurut Kuswadi (2005 : 100), “Laba merupakan selisih pendapatan
(hasil penjualan) dan beban/biaya”.
Sedangkan
menurut Zaki Baridwan (2004 : 29) definisi laba yaitu:
Kenaikan modal
(aktiva bersih) yang berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang
jarang terjadi dari suatu badan usaha, dan dari semua transaksi atau kejadian
lain yang mempengaruhi badan usaha selama suatu periode kecuali yang timbul
dari pendapatan (revenue) atau
investasi oleh pemilik. Contohnya adalah laba yang timbul dari penjualan aktiva
tetap.
Adapun
menurut Sadono Sukirno (2005 : 192), laba merupakan tujuan berbagai jenis
perusahaan, di mana perusahaan memaksimumkan laba dengan cara mengatur
penggunaan faktor-faktor produksi dengan cara yang seefisien mungkin.
Maka
dapat disimpulkan bahwa kualitas laba merupakan penilaian baik atau buruk dari
selisih antara jumlah yang diterima perusahaan dengan jumlah yang dikeluarkan,
di mana selisih tersebut dapat dimaksimumkan dengan cara pengaturan
faktor-faktor produksi secara efisien.
Laba
digunakan sebagai alat untuk mengukur kinerja manajemen perusahaan selama
periode tertentu yang pada umumnya menjadi perhatian bagi pihak-pihak tertentu,
terutama dalam menaksir kinerja atas pertanggungjawaban manajemen dalam
pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka, serta dapat
dipergunakan untuk memperkirakan prospeknya di masa depan.
Laba yang berkualitas adalah laba
yang dapat mencerminkan kinerja ekonomi perusahaan yang sesungguhnya. Di mana
untuk meningkatkan kualitas laba dapat dilakukan dengan cara meminimalisasi
manajemen laba. (Sri Sulistyanto, 2008 : 86).
2.2.2.2 Pengertian Manajemen Laba
Menurut Amat, definisi creative accounting (manajemen laba)
merupakan “Transformasi informasi keuangan dengan menggunakan pilihan metode,
estimasi dan praktik akuntansi yang diperbolehkan oleh standar akuntansi” (Dedhy
Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 18).
Sedangkan definisi manajemen laba menurut
Sri Sulistyanto (2008 : 6) yaitu, “Upaya manajer untuk mengintervensi dan
mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk
mengelabui stakeholder yang ingin
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan”.
Sementara menurut Dedhy Sulistiawan,
Yeni Januarsi dan Liza Alvia (2011 : 19) manajemen laba adalah, “Aktivitas
badan usaha memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi guna mendapatkan hasil
yang diinginkan”.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan upaya manajer untuk memengaruhi
informasi-informasi keuangan dengan menggunakan berbagai pilihan kebijakan yang
diperbolehkan oleh standar akuntansi guna melindungi manajemen dan perusahaan
dalam menghadapi keadaan yang tidak diinginkan.
2.2.2.3 Motivasi Manajemen Laba
Menurut Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia
(2011 : 31-36) terdapat 6 (enam) hal yang memotivasi individu atau perusahaan
untuk melakukan tindakan manajemen laba, yaitu:
1. Motivasi bonus
Dalam bisnis, pemegang saham akan memberikan insentif dan
bonus sebagai feedback atas kinerja
manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam
jumlah relatif tetap dan rutin. Sementara bonus yang relatif besar hanya akan
diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang telah
ditetapkan perusahaan, salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha.
Pengukuran kinerja berdasarkan laba usaha dan skema bonus tersebut memotivasi
para manajer untuk memberikan performa terbaiknya sehingga tidak menutup peluang
mereka melakukan tindakan manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja yang
baik demi mendapatkan bonus yang maksimal.
Sebuah penelitian akademis menunjukkan bahwa manajer yang
menjadi subjek rencana bonus atas dasar laba biasanya cenderung untuk menaikkan
laba apabila mereka sudah berada dalam posisi mendekati batasan bonus, dan
mereka cenderung untuk menurunkan laba apabila ada kecenderungan laba yang akan
dilaporkan berada di atas bonus maksimal. Kecenderungan ini dilakukan karena
manajer memiliki tendensi untuk menunda pengakuan laba di periode yang baik
untuk berjaga-jaga apabila hasil operasi periode berikutnya tidak begitu
memuaskan (Stice, et. al, 2004 :
421).
2. Motivasi utang
Manajer seringkali melakukan kontrak dengan pihak ketiga
(kreditur) untuk kepentingan ekspansi perusahaan. Agar kreditur mau
menginvestasikan dananya di perusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan
performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh hasil yang
maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku manajemen laba untuk
menampilkan performa yang baik dari laporan keuangannya pun seringkali muncul.
3. Motivasi pajak
Kepentingan ini didominasi oleh perusahaan yang belum go public. Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan
menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah dari nilai
yang sebenarnya.
Penelitian
Setyowati (2002) menunjukkan adanya pengaruh penerapan peraturan perpajakan
tahun 1994 terhadap dugaan praktik manajemen laba pada 179 perusahaan yang
terdaftar di BEJ pada periode 1994-1995. Hasil studi tersebut tidak terbukti
untuk periode 1994 (satu periode sebelum berlakunya peraturan perpajakan) di
mana penurunan laba yang terjadi tidak signifikan. Sementara untuk periode 1995
terjadi penurunan laba yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
peraturan perpajakan terbaru telah memotivasi perusahaan atau manajer untuk
mempercepat pengakuan biaya dan menunda pengakuan pendapatan sehingga diperoleh
laba minimal yang berimplikasi pada biaya pajak yang rendah (Dedhy Sulistiawan,
Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 33).
4. Motivasi
penjualan saham
Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun sudah go public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham
perdananya ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public Offerings (IPO) untuk memperoleh tambahan modal
usaha dari calon investor. Sedangkan perusahaan yang sudah go public untuk kelanjutan ekspansi usahanya, perusahaan akan
menjual sahamnya ke publik baik melalui penawaran kedua, ketiga dan seterusnya.
Proses
penjualan saham perusahaan ke publik akan direspon positif oleh pasar ketika
perusahaan penerbit saham (emiten) dapat menunjukkan kinerja yang baik. Di mana
salah satu ukuran kinerja yang dilihat oleh calon investor adalah penyajian
laba pada laporan keuangan perusahaan.
Sulistiawan
dan Arni (2003) membuat suatu riset tentang IPO. Hasilnya IPO tahun 1999-2001
menghasilkan laba satu hari (selisih harga pasar perdana dan harga hari pertama
di pasar sekunder) sebesar 70,1% (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza
Alvia, 2011 : 35).
5. Motivasi
pergantian direksi
Praktik manajemen laba ini biasanya terjadi pada sekitar
periode pergantian direksi atau Chief
Executive Officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi
cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa kerjanya
tetap terlihat baik pada tahun terakhir ia menjabat. Perilaku ini ditunjukkan
dengan terjadinya peningkatan laba yang cukup signifikan pada periode menjelang
berakhirnya masa jabatan. Motivasi utama yang mendorong perilaku kreatif ini adalah
untuk memeroleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya.
6. Motivasi
politis
Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang
bidang usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan
industri strategis perminyakan, gas, listrik dan air. Demi menjaga tetap
mendapatkan subsidi, perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menjaga posisi
keuangannya dalam keadaan tertentu sehingga prestasi atas kinerjanya tidak
terlalu baik.
Berdasarkan
motivasi-motivasi yang telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa pihak
manajemen melakukan manajemen laba dikarenakan adanya motivasi yang lebih
bersifat oportunis dibandingkan dengan alasan efisiensi.
2.2.2.4 Cara Mendeteksi Manajemen Laba
Menurut Dedhy
Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia (2011 : 66-78), terdapat dua cara
untuk mendeteksi manajemen laba, yakni cara kualitatif dan cara kuantitatif.
Secara kualitatif, pendeteksian dilakukan menggunakan analisis akuntansi,
sedangkan secara kuantitatif dilakukan menggunakan beberapa indikator manajemen
laba yang diambil dari beberapa riset empiris.
2.2.2.4.1 Deteksi Manajemen Laba Secara
Kualitatif
Untuk mendeteksi manajemen laba,
analisis akuntansi dapat dilakukan sebagai berikut (Dedhy Sulistiawan, Yeni
Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 67-69).
1.
Mengidentifikasi kebijakan akuntansi utama yang
digunakan oleh sebuah perusahaan atau industri. Misalnya kebijakan akuntansi
untuk aset tetap.
2.
Menilai penggunaan fleksibilitas akuntansi perusahaan,
yaitu seberapa fleksibel perusahaan menerapkan kebijakan akuntansinya. Misalnya
seringkah perusahaan melakukan perubahan estimasi dan kebijakan akuntansinya ?
3.
Menilai strategi yang dijalankan perusahaan, yaitu sejauh
manakah perbedaan kebijakan akuntansi perusahaan yang sedang dijalankan dengan
kebijakan akuntansi perusahaan lain.
4.
Menilai kualitas pengungkapan perusahaan, yaitu dengan
menilai apakah perusahaan telah menyediakan informasi yang memadai untuk
menilai strategi dan memahami kondisi ekonomi dari kegiatan operasinya.
5.
Mengidentifikasikan adanya potensi permasalahan
akuntansi (potencial red flag).
Potensi permasalahan akuntansi dapat diidentifikasikan dari hal-hal berikut ini
(Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 : 68-69):
1)
Adanya perubahan akuntansi yang tidak dapat dijelaskan,
khususnya ketika kinerja perusahaan sedang dalam keadaan buruk. Contohnya, jika
perusahaan mengubah metode akuntansi pada saat laba operasionalnya rendah dan
keadaan bisnisnya memburuk, kemungkinan besar aktivitas tersebut adalah praktik
manajemen laba.
2)
Adanya transaksi-transaksi pelambungan laba yang tidak
dapat dijelaskan. Contohnya, perusahaan menjual aset produktivitasnya pada saat
harga pasarnya berada di titik tertingginya untuk mendapatkan keuntungan
penjualan aset tetap. Padahal, perusahaan harus menjaga kapasitas produksinya.
Peningkatan piutang usaha yang tidak biasa dalam kaitannya dengan peningkatan
penjualan yang dilakukan dengan melonggarkan kredit atau memberikan toleransi
retur penjualan bertujuan melambungkan penjualan tahun ini. Namun, bisa jadi
hal ini akan mengorbankan penjualan pada tahun depan.
3)
Adanya peningkatan gap
antara laba bersih dan aliran kas operasi. Perusahaan mungkin saja “mengutak
atik” akrual.
4)
Adanya peningkatan gap
antara laba bersih yang dilaporkan dan laba untuk tujuan pajak.
5)
Adanya penghapusan (writedowns)
aset dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau tak terduga.
6)
Adanya penyesuaian pada kuarter keempat yang luas. Bagi
perusahaan yang berusaha memenuhi target laba tertentu, kuarter keempat adalah
tempat “berimprovisasi” untuk mencapai target itu.
7)
Adanya opini audit yang qualified atau adanya perubahan auditor.
8)
Adanya transaksi-transaksi yang banyak berkaitan dengan
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Cara lain yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya manajemen laba adalah dengan melihat apakah terjadi penyajian
kembali laba (earnings restatement),
yaitu perusahaan publik diharuskan untuk menyajikan kembali earnings dan informasi keuangan lainnya
yang sebelumnya telah diungkapkan, karena berisi kesalahan (error) yang dihasilkan dari kesalahan
matematis, kesalahan dalam penerapan prinsip akuntansi, atau pengawasan atau
penyalahgunaan dari fakta-fakta yang ada pada saat laporan keuangan disiapkan.
2.2.2.4.2 Deteksi Manajemen Laba Secara
Kuantitatif
Menurut Dedhy Sulistiawan, Yeni
Januarsi dan Liza Alvia (2011 : 70-77), manajemen laba dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu manajemen laba melalui kebijakan akuntansi dan manajemen laba
melalui aktivitas riil. Manajemen laba melalui kebijakan akuntansi merujuk pada
permainan angka laba yang dilakukan menggunakan teknik dan kebijakan akuntansi.
Sementara, manajemen laba melalui aktivitas riil merujuk pada permainan angka
laba yang dilakukan melalui aktivitas-aktivitas yang berasal dari kegiatan
bisnis normal atau yang berhubungan dengan kegiatan operasional, misalnya
menunda kegiatan promosi produk atau mempercepat penjualan dengan pemberian
diskon besar-besaran.
1.
Deteksi manajemen laba melalui kebijakan akuntansi
Terdapat empat model yang banyak digunakan dalam riset
empiris, yaitu:
1)
Jones Model (JM), 1991
Model ini berfokus pada total akrual sebagai sumber informasi
manipulasi akuntansi atau manajemen laba. Secara spesifik, model ini membagi
total akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner. Akrual
diskresionerlah yang digunakan sebagai estimasi manipulasi akuntansi.
JM
mengasumsikan bahwa akrual nondiskresioner bersifat tetap dari satu periode ke
periode lainnya sehingga perubahan akrual (perbedaan antara akrual tahun ini
dengan tahun lalu) yang terjadi disebabkan karena adanya perubahan akrual
diskresioner. Perubahan akrual dapat disebabkan karena adanya pertimbangan
(diskresi) dari pihak manajemen, dalam hal ini permainan kebijakan akuntansi.
Secara detail
penentuan akrual diskresioner sebagai indikator manajemen dengan JM laba
dijabarkan dalam tahap-tahap sebagai berikut.
(1)
Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAit = NIit - CFOit
(2)
Menentukan nilai parameter α1, α2, dan α3
dengan formula:
TAit = α1
+ α2∆Revit + α3PPEit + eit
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset
tahun sebelumnya (Ait-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAit/Ait-1 = α1(1/Ait-1) +
α2 (∆Revit/Ait-1) + α3(PPEit/Ait-1)
+ eit
(3)
Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAit = α1(1/Ait-1) + α2(∆Revit/Ait-1)
+ α3(PPEit/Ait-1)
(4)
Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen
laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan
formula:
DAit = TAit - NDAit
Keterangan:
TAit = Total akrual
perusahaan i dalam periode t
NIit = Laba
bersih perusahaan i pada periode t
CFOit = Arus kas operasi perusahaan i
pada periode t
NDAit = Akrual nondiskresioner perusahaan
i pada periode t
DAit = Akrual diskresioner perusahaan
i pada periode t
Ait-1 = Total aset perusahaan i pada
periode t-1
∆Revit = Perubahan penjualan bersih
perusahaan i pada periode t
PPEit = Property, plant, and equipment perusahaan i pada periode t
α1, α2,
α3 = Parameter
yang diperoleh dari persamaan regresi
eit = Error term perusahaan i pada periode t
2)
Modified
Jones Model (MJM), 1995
Model ini dikembangkan oleh Dechow, et. al (1995). Model ini muncul untuk mengatasi kelemahan yang ada
dalam JM. Menurut Dechow, kelemahan JM adalah secara implisit berasumsi bahwa
diskresi manajemen tidak dilakukan terhadap pendapatan. Padahal, telah
disebutkan sebelumnya bahwa pendapatan tidak sepenuhnya terlepas dari usaha
manipulasi. Jika pengelola perusahaan ternyata melakukan manipulasi pendapatan,
JM menjadi bias (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 :
72-73).
Dechow
mengembangkan MJM dengan mengasumsikan bahwa perubahan yang terjadi dalam
penjualan kredit pada periode berjalan merupakan objek manipulasi laba sehingga
ia memperbaiki JM dengan menghilangkan variabel perubahan piutang dari
perubahan pendapatan untuk mengestimasi akrual nondiskresioner pada periode
kejadian.
Secara detail,
penentuan akrual diskresioner dengan MJM sebagai indikator manajmen laba dapat
dijabarkan dalam tahap-tahap berikut:
(1)
Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAit = NIit - CFOit
(2)
Menentukan nilai parameter α1, α2, dan α3
dengan formula:
TAit = α1
+ α2∆Revit + α3PPEit + eit
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset
tahun sebelumnya (Ait-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAit/Ait-1 = α1(1/Ait-1) +
α2 (∆Revit/Ait-1) + α3(PPEit/Ait-1)
+ eit
(3)
Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAit = α1(1/Ait-1) + α2(∆Revit/Ait-1-∆Recit/Ait-1)
+ α3(PPEit/Ait-1)
(4)
Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen
laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan
formula:
DAit = TAit - NDAit
Keterangan:
TAit = Total akrual
perusahaan i dalam periode t
NIit = Laba
bersih perusahaan i pada periode t
CFOit = Arus kas operasi perusahaan i
pada periode t
NDAit = Akrual nondiskresioner perusahaan
i pada periode t
DAit = Akrual diskresioner perusahaan
i pada periode t
Ait-1 = Total aset perusahaan i pada
periode t-1
∆Revit = Perubahan penjualan bersih
perusahaan i pada periode t
∆Recit = Perubahan piutang bersih
perusahaan i pada periode t
PPEit = Property, plant, and equipment perusahaan i pada periode t
α1, α2,
α3 = Parameter
yang diperoleh dari persamaan regresi
eit = Error term perusahaan i pada periode t
3)
Kasznik Model (KM), 1999
KM telah mempertimbangkan dimasukkannya Operating Cash Flow (OCF) sebagai variabel penjelas yang tidak
dipertimbangkan dalam MJM. Kasznik berpendapat bahwa akrual nondiskresioner
merupakan fungsi dari perubahan pendapatan yang disesuaikan dengan adanya
perubahan piutang, property, plant,
equipment, dan OCF. Dimasukkannya variabel OCF inilah yang membedakan
penentuan KM dengan MJM (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 :
74-75).
Secara detail,
penentuan akrual diskresioner dengan KM sebagai indikator manajemen laba dapat
dijabarkan dalam tahap-tahap berikut:
(1)
Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAip = NIip - CFOip
(2)
Menentukan nilai parameter αp, βtp, β2p
dan β3p dengan formula:
TAip = αp
+ βtp (∆REVip - ∆RECip) + β2p PPEip
+ β3p∆CFip + eip
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset
tahun sebelumnya (Aip-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAip/Aip-1 = αp +
βtp (∆REVip - ∆RECip) / (Aip-1) + β2p
PPEip / (Aip-1) + β3p∆CFip /
(Aip-1) + eip
(3)
Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAip = αp + βtp (∆REVip -
∆RECip) / (Aip-1)+ β2p PPEip / (Aip-1)
+ β3p∆CFip / (Aip-1) + eip
(4)
Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen
laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan
formula:
DAip = TAip / Aip-1
- NDAip
Keterangan:
TAip = Total akrual
perusahaan i dalam periode p
NIip = Laba bersih
perusahaan i pada periode p
CFOip = Arus kas operasi perusahaan i
pada periode p
NDAip = Akrual nondiskresioner
perusahaan i pada periode p
DAip = Akrual diskresioner
perusahaan i pada periode p
Aip-1 = Total aset perusahaan i
pada periode p-1
∆Revip = Perubahan penjualan bersih
perusahaan i pada periode p
∆Recip = Perubahan piutang dagang
perusahaan i pada periode t
PPEip = Property,
plant and equipment
perusahaan i periode p
αp,
βtp, β2p, β3p = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi
eip =
Error term perusahaan i
pada periode p
4) Performance Matched Discretionary Accruals
Model (2005)
Model ini dikembangkan oleh Kothari, et. al (2005) yang memiliki ide dasar bahwa akrual yang terdapat
dalam perusahaan yang sedang memiliki kinerja yang “tidak biasa” (unusual performance) secara sistematis
diharapkan bukan nol sehingga kinerja perusahaan pastinya berhubungan dengan
akrual.
Ini
berarti bahwa perusahaan yang memiliki kinerja yang tidak biasa, seperti
perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan, memiliki hubungan positif dengan
akrual. Bahkan, jika kinerja perusahaan sedang baik, bisa jadi akrual yang
dimiliki cukup tinggi. Tingginya nilai akrual sebenarnya disebabkan karena
perusahaan sedang dalam pertumbuhan atau memang kinerjanya dalam keadaan baik,
yang bisa saja ditunjukkan dengan jumlah piutang yang tinggi, bukan karena
manajemen laba.
Dengan
demikian, untuk mengontrol kinerja yang tidak biasa, dalam mengestimasi akrual
diskresioner, Kothari et. al memasukkan
variabel kinerja, seperti Return On
Assets (ROA) sebagai tambahan variabel independen dalam model regresi
akrual diskresioner (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011 :
75-76).
2.
Deteksi manajemen laba dari aktivitas riil
Praktik manajemen laba riil dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga metode sebagai berikut (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan
Liza Alvia, 2011 : 76-78):
1)
Memanipulasi penjualan atau meningkatkan penjualan
secara tidak wajar (sales manipulation).
Cara ini dilakukan dengan menawarkan diskon harga atau syarat kredit yang
ringan.
2)
Mengurangi pengeluaran diskresioner. Seperti biaya
riset dan pengembangan, biaya iklan dan biaya pemeliharaan dibebankan pada
periode terjadinya.
3)
Produksi yang berlebihan (over production). Agar laba naik, manajer memproduksi lebih banyak
persediaan dari yang sewajarnya untuk memenuhi permintaan.
2.2.3 Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP)
Kantor akuntan publik
dapat diklasifikasikan menurut ukurannya. Di Amerika Serikat kantor akuntan
publik terbesar pertama kali dikelompokkan dengan istilah “the big 8” pada tahun 1986, kemudian dilakukan beberapa kali merjer
antar kantor akuntan publik terbesar menjadi “the big 6”, “the big 5”, dan terakhir dengan adanya skandal Enron
pada tahun 2002 menjadi “the big 4”.
Di Indonesia, ukuran kantor akuntan publik dibagi menjadi the big 4, second-tier firms, the third-tier firms dan lokal.
Tabel berikut ini
menunjukkan profil dan kapasitas dari 8 (delapan) kantor akuntan publik besar
di Amerika Serikat.
Tabel 2
Profil The Big Four dan Second-tier Accounting Firms di Amerika Serikat
KAP
|
$ (Juta)
|
Partner
|
Profesional
|
Kantor
|
Klien Audit
|
Deloitte
& Touche
|
7.814
|
25.560
|
23.841
|
103
|
1.223
|
Ernst &
Young
|
6.331
|
2.130
|
15.900
|
97
|
1.556
|
KPMG
|
6.167
|
2.019
|
20.056
|
91
|
1.282
|
PricewaterhouseCoopers
|
4.359
|
1.607
|
12.184
|
93
|
1.138
|
Rata-rata The Big Four
|
6.168
|
2.079
|
18.245
|
96
|
1.300
|
BDO Seidman
|
898
|
444
|
3.575
|
48
|
354
|
Grand Thornton
|
558
|
240
|
1.803
|
34
|
295
|
McGladrey & Pullen
|
1.281
|
775
|
4.567
|
125
|
109
|
Crowe Chizek
|
423
|
129
|
1.458
|
20
|
106
|
Rata-rata Second-tier
|
790
|
397
|
2.851
|
57
|
216
|
Sumber : Public Accounting
Report, Audit Analytics dalam Theodorus Tuanakotta (2011 : 264).
Tabel di atas
menunjukkan the big 4 mengaudit
sekitar 40% dari semua perusahaan terdaftar di SEC. Empat KAP dalam kelompok second-tier accounting firms mengaudit
10% dari perusahaan tersebut, dan ratusan KAP regional mengaudit selebihnya
(50%) namun pada umumnya KAP yang lebih kecil.
Menurut Theodorus Tuanakotta
(2011 : 265), the big 4 mempunyai
perjanjian kerjasama dengan KAP terbesar di berbagai negara di dunia. Sedangkan
non-the big 4 hanya dapat
bekerja sama dengan KAP kecil atau yang kurang dikenal, sehingga the big 4 mempunyai keunggulan yang
kompetitif.
2.2.4 Ukuran Perusahaan
Definisi
perusahaan (business) menurut Warren,
et. al (2008 : 2) yaitu, suatu
organisasi di mana sumber daya (input), seperti bahan baku dan tenaga kerja
diproses untuk menghasilkan barang atau jasa (output) bagi pelanggan. Di mana
tujuan dari kebanyakan perusahaan adalah untuk memaksimumkan laba atau
keuntungan (Warren et. al, 2008 : 2; Sadono
Sukirno, 2005 : 192).
Undang-Undang
RI No. 20 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah membagi ukuran perusahaan
menjadi usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar. Di mana dalam
penentuan kriteria usaha tersebut berdasarkan jumlah kekayaan bersih dan hasil
penjualan tahunan yang dimiliki perusahaan.
Senada
dengan hal tersebut, Theodorus Tuanakotta (2011 : 230) mengungkapkan bahwa
hampir semua penelitian menggunakan total nilai aset dalam mengukur besar atau
kecilnya suatu perusahaan.
Besarnya
perusahaan tidak luput dari risiko usaha. Bahkan risiko perusahaan menjadi
semakin besar seiring semakin beraneka ragam barang yang diproduksi perusahaan
dan semakin kompleks pekerjaan yang dilakukan, atau semakin banyak transaksi
yang terjadi. Dengan kata lain, semakin kompleks aktivitas yang dilakukan, maka
semakin besar risiko yang dihadapi (Ronny Kountur, 2013 : 1).
2.2.5 Leverage
Kreditor
jangka panjang biasanya menghadapi resiko yang lebih besar dari pada kreditor
jangka pendek, yaitu kemampuan perusahaan dalam membayar pinjaman dan bunganya.
Oleh karena ini kreditor jangka panjang lebih menaruh perhatian pada leverage perusahaan.
Menurut
Dwi Prastowo (2011 : 89), leverage
perusahaan menggambarkan kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban
jangka panjangnya. Berikut ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur leverage (Brealey, et. al, 2007 : 75-77).
1.
Rasio utang (debt
ratio)
Leverage
keuangan biasanya diukur dengan rasio utang jangka panjang terhadap total modal
jangka panjang. Utang jangka panjang tidak hanya harus mencakup obligasi atau
pinjaman lain tetapi juga nilai lease
jangka panjang. Total modal jangka panjang terkadang disebut total
kapitalisasi, adalah jumlah utang jangka panjang dan ekuitas pemegang saham.
Rasio
utang jangka panjang
|
=
|
Utang
jangka panjang
|
Utang
jangka panjang + ekuitas
|
Cara lain untuk mengekspresikan leverage adalah dalam bentuk rasio ekuitas perusahaan:
Rasio
utang jangka panjang – ekuitas
|
=
|
Utang
jangka panjang
|
Ekuitas
|
Rumus di atas hanya memperhitungkan utang jangka panjang
dalam mengukur leverage, terkadang
manajer mendefinisikan utang untuk mencakup semua kewajiban.
Rasio
total kewajiban
|
=
|
Total
kewajiban
|
Total
aset
|
Pada
umumnya kreditor jangka panjang lebih menyukai angka debt ratio yang kecil. Semakin kecil angka rasio, berarti semakin
besar jumlah aset yang didanai oleh pemillik perusahaan, dan semakin besar
penyangga risiko kreditor. (Dwi Prastowo, 2011 : 90).
Kuswadi
(2005 : 89) mengungkapkan bahwa informasi mengenai pemilik usaha juga penting
untuk diketahui, apakah pemilik usahanya adalah pemegang saham atau kreditur.
Tujuannya untuk mengetahui besarnya bagian dari total aset yang dibiayai oleh
keduanya. Misalnya, apabila besarnya utang dibandingkan dengan total aset sebesar
40%, berarti 60% dari total asetnya dibiayai oleh investor (para pemegang
saham).
2.
Rasio tingkat kemampuan membayar bunga (times interest earned ratio)
Rasio ini untuk mengukur kemampuan operasi perusahaan
dalam memberikan proteksi kepada kreditur jangka panjang, khususnya dalam
membayar bunga.
Tingkat
kemampuan membayar bunga
|
=
|
EBIT
|
Pembayaran
bunga
|
Menurut
Dwi Prastowo (2011 : 90) tidak ada pedoman pasti tentang besarnya angka rasio
ini yang dikatakan baik. Pada umumnya laba dipandang cukup untuk melindungi
kreditur bila rasio ini besarnya 2 kali atau lebih. Senada dengan hal tersebut,
Brealey, et. al (2007 : 77)
mengungkapkan bahwa rasio ini tidak memberitahukan kepada pengguna apakah
perusahaan dapat menghasilkan cukup banyak uang tunai untuk mengembalikan
utangnya ketika jatuh tempo.
3.
Rasio cakupan kas (cash
coverage ratio)
Pada saat kita menghitung laba, penyusutan mengurangi
laba perusahaan, namun tidak ada kas yang dikeluarkan atas biaya depresiasi
tersebut. Oleh karena itu, untuk menghitung sejauh mana bunga dapat ditutup
oleh arus kas dari operasi, kita perlu mengeluarkan biaya penyusutan dari
perhitungan laba.
Rasio
cakupan kas
|
=
|
EBIT
+ Penyusutan
|
Pembayaran
bunga
|
2.2.6 Likuiditas
Menurut
Dwi Prastowo (2011 : 64), “Likuiditas perusahaan menggambarkan kemampuan
perusahaan tersebut dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya kepada kreditur
jangka pendek”.
Berikut
ini merupakan perhitungan untuk mengukur likuiditas perusahaan. (Brealey, et. al, 2007 : 77-79; Dwi Prastowo, 2011
: 83-88)
1.
Rasio modal kerja (net
working capital ratio)
Aset lancar adalah aset yang diharapkan perusahaan dapat diperoleh dalam
waktu dekat. Selisih antara aset lancar dan kewajiban lancar disebut modal
kerja bersih. Modal kerja bersih mengukur potensi cadangan kas perusahaan
secara kasar. Aset lancar biasanya melebihi kewajiban lancar.
Modal kerja bersih = Aset lancar – kewajiban lancar
Manajer sering mengekspresikan modal kerja bersih sebagai bagian total
aset.
Rasio
Modal Kerja =
|
Modal
kerja bersih (NWC)
|
Total
aset
|
Jumlah
modal kerja yang dimiliki oleh perusahaan ini menjadi perhatian para kreditur
jangka pendek, karena angka ini menunjukkan jumlah aktiva yang dibelanjai dari
sumber dana jangka panjang, yang tidak memerlukan pembayaran kembali dalam
jangka pendek. Makin besar angka modal kerja ini, berarti makin besar tingkat
proteksi kreditor jangka pendek, dan makin besar kepastian bahwa utang jangka
pendek akan dilunasi tepat waktu.
Meskipun
menyenangkan bagi kreditur jangka pendek untuk melihat angka modal kerja yang
besar, akan tetapi kesenangan mereka baru akan penuh bila mereka telah
memperoleh kepastian, bahwa modal kerja berputar pada tingkat kecepatan yang
tinggi dan bahwa utang akan dapat dibayar, meski dalam kondisi operasi yang
sulit sekalipun. Alasannya, modal kerja yang tinggi tidak memberikan jaminan
bahwa utang akan dapat dibayar pada saat jatuh temponya. Tingginya angka modal
kerja dapat disebabkan adanya persediaan yang telah usang atau tidak laku
terjual. Oleh karena itu, untuk memperoleh perspektif yang benar, angka modal
kerja harus dilengkapi dengan angka current
ratio, quick ratio, perputaran piutang dan perputaran persediaan.
2.
Rasio lancar (current
ratio)
Elemen-elemen yang digunakan dalam perhitungan modal kerja dapat
dinyatakan dalam rasio, yang membandingkan antara total aktiva lancar dan utang
lancar.
Rasio
lancar
|
=
|
Aset
lancar
|
Kewajiban
lancar
|
Penurunan
cepat pada rasio lancar terkadang menandakan masalah. Misalnya, perusahaan yang
memperberat utangnya dengan menunda pembayaran tagihannya akan mengalami
peningkatan kewajiban lancar dan penurunan rasio lancar.
Meskipun
demikian, perubahan rasio lancar bisa menyesatkan. Sebagai contoh, misalkan
perusahaan meminjam sejumlah besar uang dari bank dan menginvestasikannya dalam
sekuritas. Kewajiban lancar naik dan begitu pula aset lancar. Karena itu, jika
tidak ada yang berubah, modal kerja bersih tidak terpengaruh tetapi rasio
lancar berubah. Untuk alasan ini, kadang-kadang investasi jangka pendek bersih
terhadap utang jangka pendek lebih disukai ketika menghitung rasio lancar.
Di
samping itu, tingginya current ratio
dapat menjebak. Hal ini dikarenakan current
ratio yang tinggi dapat disebabkan adanya piutang yang tidak tertagih atau
persediaan yang tidak terjual, yang tentu saja tidak dapat dipakai untuk
membayar utang. Untuk menguji apakah alat bayar tersebut benar-benar likuid
(benar-benar dapat digunakan untuk membayar utangnya), maka alat bayar yang
kurang likuid harus dikeluarkan dari total aktiva lancar perusahaan.
Rasio
lancar memang memberikan indikasi bahwa semakin besar angka rasio ini, maka
semakin kuat atau besar kemampuan perusahaan dalam menjamin kewajiban
lancarnya. Namun dalam praktik sehari-hari, klaim atas kewajiban lancar jarang
terjadi secara mendadak, melainkan selalu terjadwal dengan baik. Sehingga rasio
lancar tidak memberikan nilai ekstra bagi manajemen, khususnya dalam
memperkirakan kemampuan likuiditas untuk membayar pengeluaran dan biaya selain
kewajiban yang sudah terjadwal. (Kuswadi, 2005 : 79-80).
Di samping
itu, terdapat beberapa kelemahan pokok rasio lancar menurut Kuswadi (2005 : 80)
yaitu:
1)
Rasio lancar tidak bisa menjawab apakah pada waktu yang
akan datang, di antara kewajiban-kewajiban yang terjadwal, perusahaan mempunyai
kemampuan (dari penerimaan kas) untuk meliput seluruh pembelanjaan rutin
operasional dan pembelanjaan pembangunan investasinya (minimal untuk satu bulan
mendatang).
2)
Dari rasio ini, tidak dapat diperoleh informasi, apakah
kemampuan likuiditas perusahaan timbul karena prestasi perusahaan yang sehat,
atau karena telah dilakukannya berbagai jalan pintas yang tidak sehat untuk
sekadar menunjukkan posisi yang likuid.
3.
Rasio cepat (quick/acid
test ratio)
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tidak semua aset lancar
bersifat likuid ketika dibutuhkan. Jika terdapat masalah mendadak, persediaan
tidak dapat dijual pada harga berapa pun di atas harga obral besar-besaran (masalah umumnya datang karena perusahaan tidak
dapat menjual persediaan produk jadinya lebih dari biaya produksi). Maka
manajer seringkali mengabaikan persediaan dan komponen aset lain yang kurang
likuid ketika membandingkan aset lancar dengan kewajiban lancar. Sebagai
gantinya mereka memusatkan perhatian pada kas, sekuritas dan tagihan yang belum
dibayar pelanggan.
Rasio
cepat
|
=
|
Kas
+ sekuritas + piutang
|
Kewajiban
lancar
|
4.
Rasio kas (cash
ratio)
Aset perusahaan yang paling likuid adalah kas dan sekuritas. Rasio kas
dapat dihitung sebagai berikut.
Rasio
kas
|
=
|
Kas
+ sekuritas
|
Kewajiban
lancar
|
Rasio
kas yang rendah mungkin tidak menjadi masalah jika perusahaan dapat meminjam
dalam waktu singkat, dengan meminjam dari bank atau mungkin perusahaan
mempunyai mempunyai lini kredit terjamin yang memungkinkannya meminjam dana
pada saat dibutuhkan.
5.
Perputaran piutang (account
receivable turnover)
Setelah alat-alat bayar yang kurang likuid dikeluarkan dari total aktiva
lancar (total alat bayar), maka kini tinggal ada tiga macam alat bayar, yaitu
kas (yang benar-benar likuid), surat berharga dan piutang dagang. Sebagai alat
bayar, piutang dagang (yang biasanya jumlahnya cukup besar) juga harus diuji
(dievaluasi) likuiditasnya. Untuk menguji (mengevaluasi) piutang dagang ini,
perlu dihitung rasio perputaran piutang dan jumlah hari piutang.
Rasio
perputaran piutang ini biasanya digunakan dalam hubungannya dengan analisis
terhadap modal kerja, karena memberikan ukuran kasar tentang seberapa cepat
piutang perusahaan berputar menjadi kas. Angka jumlah hari piutang ini
menggambarkan lamanya suatu piutang bisa ditagih (jangka waktu pelunasan/penagihan
piutang). Rasio perputaran piutang dan jumlah hari piutang ini dihitung dengan
cara sebagai berikut:
Perputaran
piutang
|
=
|
Penjualan
(kredit)
|
Rata-rata
piutang
|
Jumlah
hari piutang
|
=
|
Jumlah
hari per tahun
|
Perputaran
piutang
|
Selain
dihitung jumlah hari piutangnya, dalam mengevaluasi piutang dagang ini perlu
diperhatikan juga kepada siapa piutang dagang ini diberikan. Selain itu, perlu
diingat bahwa sebelum bisa ditagih, piutang dagang dapat juga dijual atau
dijaminkan (factoring dan pledging), yang berarti merupakan sumber
dana.
Baik
tidaknya angka jumlah hari piutang sangat bergantung pada termin kredit yang
ditawarkan perusahaan kepada para pelanggannya. Misalnya jika termin kredit
yang diberikan adalah 30 hari, dan jumlah hari piutang yang diperoleh adalah 40
hari, maka periode penagihan ini dapat dikatakan cukup baik. Namun jika termin
kredit yang diberikan adalah 10 hari maka periode penagihan sebesar 40 hari ini
memberikan petunjuk adanya masalah pada fungsi penagihan atau pada manajemen
kredit perusahaan.
6.
Perputaran persediaan
Jika pada pembahasan sebelumnya persediaan dianggap alat bayar yang
kurang likuid, maka seperti halnya piutang dagang, kita juga harus menguji
apakah persediaan ini memang benar-benar tidak likuid dan oleh karenanya
dikeluarkan dari total aktiva lancar. Untuk menguji persediaan ini, perlu
dihitung rasio perputaran persediaan dan jumlah hari persediaan
Rasio
perputaran persediaan mengukur berapa kali persediaan telah dijual selama
periode tertentu, misalnya selama tahun tertentu. Rasio perputaran persediaan
dan jumlah hari persediaan ini dihitung dengan cara sebagai berikut:
Perputaran
persediaan
|
=
|
Harga
pokok penjualan
|
Rata-rata
persediaan
|
||
|
|
|
Jumlah
hari persediaan
|
=
|
Jumlah
hari per tahun
|
Perputaran
persediaan
|
Rata-rata
persediaan dihitung dengan cara menambahkan saldo persediaan awal dan akhir,
kemudian dibagi dua.
Apabila
suatu perusahaan mempunyai rasio perputaran persediaan yang lebih rendah
dibanding rasio rata-rata industrinya, maka hal ini menunjukkan adanya
persediaan yang sudah usang atau persediaan yang terlalu tinggi. Sebaliknya,
rasio perputaran persediaan yang lebih rendah dibanding rata-rata, memberi
indikasi tingkat persediaan tidak cukup.
Selain
mengevaluasi kualitas alat bayar (komponen aktiva lancar) yang akan digunakan
untuk membayar utang, utang lancar tersebut harus juga dievaluasi untuk
mengetahui apakah semua utang lancar tersebut memang harus segera dibayar.
Menurut Dwi Prastowo (2011 : 88) meskipun angka rasio likuiditas suatu perusahaan
kecil, tidak berarti bahwa secara riil kemampuan (likuiditas) perusahaan
tersebut kecil. Hal ini disebabkan karena setiap perusahaan mempunyai “cadangan
likuiditas”. Cadangan likuiditas ini antara lain ditunjukkan dengan adanya:
1.
Hubungan baik yang dimiliki oleh perusahaan, yang
memungkinkan perusahaan meminjam uang sewaktu-waktu membutuhkan dana. Kenyataan
ini tidak tampak pada neraca.
2.
Perusahaan masih memiliki batas kredit bank yang belum
digunakan.
3.
Perusahaan mempunyai aktiva jangka panjang yang dapat
dikonversikan menjadi kas dengan segera.
4.
Perusahaan berada dalam posisi utang jangka panjang
yang sangat baik, sehingga memiliki kapabilitas untuk menerbitkan utang baru
atau saham.
5.
Praktik cek mundur di dalam transaksi bisnis.
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kualitas laba sangat penting dalam
pengambilan keputusan, karena pada umumnya pemakai laporan keuangan dalam
menilai kinerja perusahaan berdasarkan laba yang disajikan dalam laporan
keuangan. Namun dengan maraknya praktik manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan, mengakibatkan informasi laba yang disajikan diragukan
kualitasnya, yang dapat berdampak pada kesalahan dalam pengambilan keputusan
ekonomi.
Manajemen laba dilakukan karena
perilaku oportunis manajemen untuk memperoleh sesuai dengan yang diharapkan.
Kualitas akuntan publik atau auditor eksternal diharapkan dapat membatasi
perilaku oportunis manajemen perusahaan, sehingga manajemen laba dapat
diminimalisasi. Di mana kantor akuntan publik dapat diklasifikasikan
berdasarkan ukuran besar kecilnya perusahaan. Di Indonesia diklasifikasikan
menjadi the big 4, second-tier firms, the
third-tier firms dan lokal.
Besar
atau kecilnya perusahaan dapat diukur dari total aset yang dimiliki. Namun
besarnya perusahaan tidak luput dari risiko usaha. Bahkan risiko usaha yang
ditanggung menjadi semakin besar karena aktivitas usaha yang dilakukan semakin
kompleks.
Leverage merupakan rasio yang digunakan
untuk mengetahui seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai oleh hutang. Jika
aset perusahaan lebih banyak dibiayai oleh hutang, maka perusahaan dapat
dinilai tidak dapat menjaga keseimbangan keuangan antara penggunaan dana dengan
modal/dana yang diperoleh dari operasi perusahaan.
Likuiditas
merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi hutang jangka pendeknya
dengan aset lancar yang dimiliki. Tingkat likuiditas perusahaan yang tinggi
dapat menunjukkan bahwa perusahaan mampu membayar kewajibannya, yang berarti
kinerja keuangannya cukup baik sehingga tidak perlu melakukan manajemen laba.
Namun pemakai laporan keuangan perlu berhati-hati karena tingginya likuiditas
dapat disebabkan oleh tingginya piutang yang sebenarnya tidak dapat ditagih
atau persediaan yang sudah usang dan tidak dapat dipergunakan lagi.
Berdasarkan
teori yang telah dikemukakan di atas, maka skema kerangka pemikiran dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 1
Skema Kerangka Pemikiran Teoritis
2.4 Rumusan Hipotesis
Berdasarkan
kerangka pemikiran teoritis di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis seperti
berikut:
H1 :
|
Ukuran KAP berpengaruh terhadap kualitas laba.
|
H2 :
|
Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kualitas laba.
|
H3 :
|
Leverage berpengaruh terhadap kualitas laba.
|
H4 :
|
Likuiditas berpengaruh terhadap kualitas laba.
|
H5 :
|
Ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas secara
simultan berpengaruh terhadap kualitas laba.
|
BAB III
|
3.1
Metode Penelitian
Dalam penelitian
ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode eksplanasi yaitu penelitian
yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara satu variabel dengan variabel
yang lain.
3.2
Operasionalisasi Variabel
Definisi
operasional merupakan pengoperasian atau secara operasional mendefinisikan
sebuah konsep untuk membuatnya bisa diukur, dilakukan dengan melihat pada
dimensi perilaku, aspek, atau sifat yang ditunjukkan oleh konsep (Sekaran, 2006
: 4). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 4 (empat) variabel independen
dan 1 (satu) variabel dependen.
Tabel 3
Operasional Variabel Penelitian
Variabel
|
Konsep Variabel
|
Indikator
|
Skala Pengukuran
|
||||
Ukuran KAP (Variabel X1)
|
Klasifikasi Kantor Akuntan
Publik (KAP) yang mengaudit laporan keuangan perusahaan. (Theodorus
Tuanakotta, 2011 : 265)
|
KAP the big 4 diberi kode 1, selain KAP the big 4 diberi kode 0.
|
Nominal
|
||||
|
|||||||
(Lanjutan)
Tabel 3
|
|||||||
Ukuran Perusahaan (Variabel X2)
|
Proksi ukuran perusahaan diukur
dengan besarnya total aset yang dimiliki perusahaan. (Theodorus Tuanakotta,
2011 : 230)
|
Total aset
|
Rasio
|
||||
Leverage (Variabel X3)
|
Proksi leverage diukur dengan debt
ratio, rasio utang jangka panjang terhadap total modal jangka panjang.
(Brealey et. al, 2007 : 75)
|
Utang jangka panjang
Ekuitas
|
Rasio
|
||||
Likuiditas (Variabel X4)
|
Proksi likuiditas diukur dengan
current ratio, rasio lancar terhadap
kewajiban lancar perusahaan. (Brealey et.
al, 2007 : 78)
|
Aset lancar
Kewajiban lancar
|
Rasio
|
||||
Kualitas laba (Variabel Y)
|
Proksi kualitas laba diukur
dengan Kasznik Model (KM), model
pembagian total akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual
nondiskresioner. (Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, 2011:
74-75)
|
Laba Bersih
Arus Kas Operasi
Aset tetap
Total Aset
Penjualan
Piutang Usaha
|
Rasio
|
||||
Sumber: Diolah
oleh penulis, 2013
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi
adalah sekumpulan data yang mengidentifikasi suatu fenomena (Singgih Santoso,
2008 : 4). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam sub sektor properti dan real estate yang berjumlah sebanyak 44
perusahaan (http://sahamok. com/emiten/sektor-property-real-estate/).
Sampel
adalah sebagian dari populasi. Sampel terdiri atas sejumlah anggota yang
dipilih dari populasi. Dengan kata lain, sejumlah berarti tidak semua, elemen
populasi akan membentuk sampel (Sekaran, 2006 : 123). Metode pemilihan sampel
dalam penelitian ini menggunakan metode judgement
sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu dengan
melibatkan pemilihan subjek yang berada di tempat yang paling menguntungkan
atau dalam posisi terbaik untuk memberikan informasi yang diperlukan (Sekaran,
2006 : 137).
Di
bawah ini merupakan beberapa kriteria yang digunakan dalam menentukan sampel
yaitu :
1.
Tercatat
sebagai emiten yang masih terdaftar sejak tahun 2008 sampai 2012 secara terus
menerus yang melaporkan laporan keuangannya.
2. Perusahaan properti dan real estate yang dalam laporan
keuangannya tidak mengalami kerugian secara terus menerus selama tahun
2008-2012.
3. Perusahaan properti dan real estate yang menyajikan laporan
keuangannya dalam mata uang Rupiah.
4. Perusahaan properti dan real estate yang memperoleh laba
rata-rata di atas Rp.
250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) selama tahun 2008-2012.
Berdasarkan kriteria di atas, maka
diperoleh sampel sebanyak 8 (delapan) perusahaan, yaitu sebagai berikut:
Tabel 4
Daftar Sampel Penelitian
No
|
Kode Saham
|
Nama Emiten
|
1
|
ASRI
|
PT Alam Sutera Realty Tbk
|
2
|
BSDE
|
PT Bumi Serpong Damai Tbk
|
3
|
CTRA
|
PT Ciputra Development Tbk
|
4
|
DUTI
|
PT Duta Pertiwi Tbk
|
5
|
JRPT
|
PT Jaya Real Property Tbk
|
6
|
LPKR
|
PT Lippo Karawaci Tbk
|
7
|
PWON
|
PT Pakuwon Jati Tbk
|
8
|
SMRA
|
PT Summarecon Agung Tbk
|
Sumber : Diolah oleh penulis, 2013
3.4 Teknik Pengumpulan
Data
3.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan data yang terdapat di Bursa Efek Indonesia
(BEI). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian yaitu Juli – Desember
2013.
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah telaah dokumen. Telaah dokumen adalah
teknik pengumpulan data dengan menelaah data atau dokumen yang berhubungan
dengan penelitian ini. Data atau dokumen yang ditelaah yaitu laporan keuangan
perusahaan audited meliputi laporan
posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas dan catatan atas laporan
keuangan mengenai perusahaan yang menjadi sampel penelitian dalam rentan waktu
2008 – 2012.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan
menyajikan data mengenai ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage, likuiditas dan kualitas laba pada perusahaan sub sektor properti
dan real estate untuk periode
2008-2012. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan regresi linier
berganda.
Dalam penelitian ini, analisis
regresi yang digunakan selain menggunakan variabel berskala rasio, juga
menggunakan variabel yang bersifat kuantitatif atau skala nominal yang disebut
variabel dummy. Cara pemberian kode dummy umumnya menggunakan kategori yang
dinyatakan dengan angka satu atau nol. Kelompok yang diberi nilai dummy nol disebut excluded group, sedangkan kelompok yang diberi nilai dummy satu disebut include group. (Imam Ghozali, 2009 : 3).
Adapun pengolahan data untuk
variabel dummy (variabel berskala
nominal), dengan cara mengaktifkan “nominal” di kolom measure pada variable view
saat penginputan data di lembar kerja SPSS (Agung Abdul Rasul, 2010 : 2-3; Duwi
Priyatno, 2013 : 47).
Analisis dilakukan pada setiap
sampel perusahaan untuk mengetahui pengaruh dan hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Sementara itu, untuk menganalisis data
dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengolahan data melalui
program SPSS 16 (Statistical Product and
Service Solution). Adapun analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
dibagi dua yaitu analisis akuntansi dan analisis statistik, yakni sebagai
berikut :
1. Analisis Akuntansi
Analisis akuntansi dilakukan dengan menghitung
variabel-variabel penelitian dengan rumus berdasarkan teori yang ada yakni
sebagai berikut :
1) Rasio
utang jangka panjang (long term debt ratio)
Proksi
leverage diukur dengan rasio utang
jangka panjang, yaitu rasio utang jangka panjang terhadap total modal jangka
panjang. Rasio utang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio
utang jangka panjang
|
=
|
Utang
jangka panjang
|
Utang
jangka panjang + ekuitas
|
2) Rasio
lancar (current ratio)
Proksi
likuiditas diproksikan dengan rasio lancar, yaitu rasio aset lancar terhadap
kewajiban lancar. Rasio lancar dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio
lancar
|
=
|
Aset
lancar
|
Kewajiban
lancar
|
3)
Kasznik Model
Proksi kualitas laba diproksikan dengan akrual
diskresioner metode kasznik model. Di mana tahap penghitungannya sebagai
berikut:
(1)
Menentukan nilai total akrual dengan formula:
TAip = NIip - CFOip
(2)
Menentukan nilai parameter αp, βtp, β2p
dan β3p dengan formula:
TAip = αp
+ βtp (∆REVip - ∆RECip) + β2p PPEip
+ β3p∆CFip + eip
Lalu untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi dengan aset
tahun sebelumnya (Aip-1), sehingga formulanya berubah menjadi:
TAip/Aip-1 = αp +
βtp (∆REVip - ∆RECip) / (Aip-1) + β2p
PPEip / (Aip-1) + β3p∆CFip /
(Aip-1) + eip
(3)
Menghitung nilai NDA dengan formula:
NDAip = αp + βtp
(∆REVip - ∆RECip) / (Aip-1)+ β2p PPEip
/ (Aip-1) + β3p∆CFip / (Aip-1) + eip
(4)
Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan indikator manajemen
laba akrual dengan cara mengurangi total akrual dengan nondiskresioner, dengan
formula:
DAip = TAip / Aip-1
- NDAip
Keterangan:
TAip = Total akrual perusahaan
i dalam periode p
NIip = Laba bersih perusahaan i
pada periode p
CFOip = Arus kas operasi perusahaan i
pada periode p
NDAip = Akrual nondiskresioner
perusahaan i pada periode p
DAip = Akrual diskresioner perusahaan
i pada periode p
Aip-1 = Total aset perusahaan i pada
periode p-1
∆REVip = Perubahan penjualan bersih
perusahaan i pada periode p
∆RECip =
Perubahan piutang usaha perusahaan i pada periode t
PPEip = Property, plant and equipment perusahaan i periode p
αp, βtp, β2p, β3p = Parameter yang diperoleh dari
persamaan regresi
eip = Error term perusahaan i pada periode p
2. Analisis Statistik
Data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dalam penelitian ini
akan dianalisis dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan
selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan bantuan program SPPS 16. Dalam
melakukan pengujian, untuk mendapatkan hasil penelitian maka ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan yaitu :
1)
Uji Asumsi Klasik
Sebelum
melakukan pengujian hipotesis dengan analisis regresi berganda, perlu dilakukan
uji asumsi klasik terlebih dahulu. Uji asumsi klasik merupakan syarat dalam
analisis regresi berganda agar hasil yang diperoleh valid dan tidak bias.
Pengujian yang digunakan yaitu:
(1) Uji Normalitas
Pengujian normalitas menurut Gujarati merupakan asumsi bahwa faktor kesalahan
ui telah didistribusikan
secara normal (2006 : 164).
Untuk menguji normalitas dapat dilihat dari: (1) distribusi Histogram, data dikatakan berdistribusi
normal jika berbentuk seperti bel, (2) normal P-P Plot, uji normalitas terpenuhi jika pencaran data terletak di
sekitar garis diagonal, (3) uji One
Sample Kolmogorov-Smirnov, jika p-value
lebih besar dari 0,05 maka uji normalitas terpenuhi (Sofyan Yamin, Lien A.
Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 32-33).
(2) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui tidak ada hubungan
linear yang nyata antara variabel-variabel penjelas. Seandainya terdapat lebih
dari satu hubungan linear yang nyata di antara variabel-variabel penjelas,
merupakan asumsi baru dan memerlukan penjelasan yang lebih rinci (Gujarati,
2006 : 184).
Uji multikolinearitas terpenuhi jika nilai tolerance lebih besar dari 0,1 dan nilai VIF lebih kecil dari 10
(Sofyan Yamin, Lien A. Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 120).
(3) Uji
Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas ini semata-mata menyatakan bahwa distribusi
beersyarat dari tiap populasi Y yang sesuai untuk nilai X tertentu mempunyai
varians yang sama. Dalam hal ini, masing-masing nilai Y tersebar di sekitar
nilai rata-ratanya dengan varians yang sama. Jika asumsi ini tidak terpenuhi
maka terjadi heteroskedastisitas atau varians tidak sama (Gujarati, 2006 :
146).
Untuk menguji heteroskedastisitas dapat dilihat dari Scatterplot, jika data berpencar secara acak maka tidak terjadi
heteroskedastisitas. Langkah lainnya dengan uji Glejser, di mana jika nilai p-value
lebih besar dari 0,05 pada alfa 5% maka uji heteroskedastisitas telah terpenuhi
(Sofyan Yamin, Lien A. Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 93-112).
(4) Uji
Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui tidak ada korelasi di antara
dua faktor kesalahan acak. Asumsi ini berarti bahwa tidak ada hubungan yang
sistematis antara dua faktor kesalahan, singkatnya faktor kesalahan bersifat
acak (Gujarati, 2006 : 147).
Autokorelasi sering terjadi dalam data time series karena dalam jenis data ini biasanya dipengaruhi oleh
data sebelumnya. Autokorelasi dalam regresi linear dapat mengganggu suatu
model, karena akan menyebabkan terjadinya kebiasaan pada kesimpulan yang
diambil (Sofyan Yamin, Lien A. Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011: 73).
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat digunakan metode pengujian
Durbin Watson (DW). Di mana jika nilai DW lebih besar daripada batas atas DW
tabel (dU) dan lebih kecil daripada (4 – dU) maka tidak terjadi autokorelasi.
Namun jika hasil pengujian terdapat masalah autokorelasi, maka salah satu cara
menanganinya dengan diketahui atau tidaknya koefisien autokorelasi. Jika nilai
autokorelasi (ρ) tidak diketahui, nilai ρ harus ditaksir terlebih dahulu dari
model, salah satunya dengan metode Cochrane-Orcutt
(Sofyan Yamin, Lien Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011 : 75).
2) Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis
regresi linear berganda digunakan untuk memprediksi pengaruh lebih dari satu
variabel bebas terhadap satu variabel tergantung, baik secara parsial maupun
simultan. Penelitian ini menggunakan empat variabel bebas, maka persamaan
regresi linear berganda sebagai berikut:
|
Keterangan:
Ŷ = Kualitas laba
a = Konstanta
b1, b2, b3, b4 = Koefisien regresi masing-masing variabel
independen
X1 = Ukuran KAP
X2 = Ukuran Perusahaan
X3 = Leverage
X4 = Likuiditas
e = Error
3) Uji
Hipotesis
Pengujian
hipotesis dalam penelitian untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan pada
bab sebelumnya serta untuk mengetahui pengaruh nyata (signifikansi) variabel
independen terhadap variabel dependen baik secara parsial (uji t) maupun secara
simultan (uji F) :
(1) Uji
Regresi Parsial (Uji t)
Pengujian ini bertujuan
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen secara individual
terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan.
Pendekatan yang dapat
digunakan yaitu pendekatan uji signifikansi atau pendekatan interval keyakinan
(Gujarati, 2006 : 190).
Untuk pendekatan
signifikansi kriterianya yaitu jika signifikansi di bawah 0,05 maka variabel
bebas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen,
sehingga hipotesis diterima. Sebaliknya jika probabilitas signifikansi di atas
0,05 maka hipotesisnya ditolak (Sofyan Yamin, Lien Rachmach dan Heri Kurniawan,
2011 : 37).
(2) Uji
Signifikansi Simultan (Uji F)
Pengujian ini untuk
mengetahui apakah semua variabel independen dalam model mempunyai pengaruh
secara simultan terhadap variabel dependen. Jika nilai signifikansi kurang dari
0,05 pada alfa 5% maka hipotesis diterima yang berarti semua variabel
independen mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen, namun jika
nilai signifikansi lebih dari 0,05 maka hipotesis ditolak (Sofyan Yamin, Lien
Rachmach dan Heri Kurniawan, 2011 : 37).
(3) Analisis
Koefisien Determinasi (R2)
Analisis ini memberikan
ukuran menyeluruh dari kecocokan garis regresi yang ditaksir (Gujarati, 2006 :
189).
Dengan kata lain R2 digunakan untuk
mengukur seberapa besar kemampuan model dapat menerangkan variasi dependen.
Nilai koefisien determinasi antara 0 dan 1. Nilai (R2) yang paling
kecil berarti kemampuan variabel-variabel dalam menjelaskan variasi variabel
dependen sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variabel dependen.
BAB V
|
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya, maka terlihat
hasil model regresi berganda sebagai berikut:
Ŷ = -0,043 – 0,035X1 + 0,002X2 + 0,116X3
+ 0,002X4
Model regresi berganda tersebut telah diuji kelayakan asumsi
normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Hasil dari
seluruh pengujian tersebut menunjukkan bahwa model regresi berganda di atas
layak untuk menjelaskan variabel dependen dan hasil uji asumsi klasik tersebut
telah memenuhi kriteria Best Linier
Unbiased Estimator (BLUE).
|
3. Hasil perhitungan melalui tabel ANOVA (uji F) menyatakan bahwa
secara simultan ukuran KAP, ukuran perusahaan, leverage dan likuiditas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kualitas laba, karena nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 dan nilai Fhitung
sebesar 8,186 > Ftabel 2,641.
4. Berdasarkan hasil uji koefisien determinasi menunjukkan besarnya R2
sebesar 0,483 atau 48,3%. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 48,3% variasi
variabel dependen yaitu kualitas laba dapat dijelaskan oleh variabel ukuran
KAP, ukuran perusahaan, leverage dan
likuiditas. Sedangkan sisanya sebesar 51,7% dipengaruhi atau dijelaskan oleh
faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini, seperti mekanisme Good Corporate Governance, Investment Opportunity Set, pertumbuhan
laba dan profitabilitas.
5.2 Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka
saran-saran yang dapat penulis berikan yaitu sebagai berikut:
1.
Variabel independen yang tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap kualitas laba adalah likuiditas. Hal ini kemungkinan
dikarenakan tingginya likuiditas tidak dapat menjamin perusahaan tersebut dapat
melunasi kewajiban jangka pendeknya saat jatuh tempo, karena aset lancar lebih
didominasi oleh akun-akun non kas dan setara kas. Oleh karena itu, disarankan
kepada pemakai laporan keuangan dan peneliti selanjutnya untuk menggunakan cash ratio dalam mengukur tingkat
likuiditas.
2.
Bagi para pemakai laporan keuangan yang akan menilai
kualitas laba suatu perusahaan agar tidak hanya melihat dari ukuran KAP, ukuran
perusahaan, leverage dan likuiditas
saja, tetapi dinilai juga dari faktor-faktor lainnya seperti mekanisme Good Corporate Governance (GCG), Investment Opportunity Set (IOS),
pertumbuhan laba dan profitabilitas perusahaan.
3.
Untuk peneliti selanjutnya disarankan untuk memperluas
populasi, menambah tahun penelitian, menambah jumlah sampel yang tidak terbatas
hanya pada perusahaan properti dan real
estate saja, dan dalam pengambilan sampel agar menambahkan kriteria sampel
yang lebih spesifik, seperti jenis barang/jasa yang dihasilkan dan minimum laba
yang diperoleh selama periode penelitian, agar hasil penelitian selanjutnya
lebih tepat dan akurat. Selain itu,
perlu juga menggunakan variabel lainnya dalam menilai kualitas laba
perusahaan, dan disarankan untuk menggunakan pengukuran kualitas laba yang lain
seperti Earning Response Coefficient
(ERC) atau manajemen laba secara riil.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Abdul Rasul, (2010). Praktikum
Statistika Ekonomi dan Bisnis dengan SPSS. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Agung Suaryana. (2005). “Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas
Laba”. Simposium Nasional Akuntansi VIII
Solo. Denpasar: Universitas Udayana.
Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko. (2007). “Analisis Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”. Simposium Nasional Akuntansi X Makassar. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Antonius Herusetya. (2009). “Pengaruh Ukuran Auditor dan Spesialisasi
Auditor terhadap Kualitas Laba”. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol.6, 1. Surabaya: Universitas Pelita
Harapan.
Aprilia Meriane. (2010). “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan (Pada Perusahaan Industri Manufaktur di
BEI)”. Skripsi. Padang: Universitas
Andalas.
Arens, Alvin A, Randal J.
Elder dan Mark S. Beasley, (2003). Auditing
dan Pelayanan Verifikasi (Jilid Satu Edisi Ke-9). Jakarta: Indeks.
Boynton, William C, Raymond N. Johnson dan Walter G. Kell, (2003). Modern Auditing (Jilid dua Edisi ke-7).
Jakarta: Erlangga.
Brealey, Richard A, Stewart C. Myers dan Alan J. Marcus, (2008). Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan (Jilid
dua Edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.
Budi Riza. (8 Juli 2004). Koran Tempo – Bapepam Temukan Indikasi
Pelanggaran dalam Kasus Indofarma. http://kumpulanberitalama.
blogspot.com/2012/10/korantempo-bapepam-temukan-indikasi.html.
Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, (2011). Creative Accounting: Mengungkap Manajemen
Laba dan Skandal Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.
Dhian Eka Irawati. (2012). “Pengaruh Sruktur Modal, Pertumbuhan Laba,
Ukuran Perusahaan dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba”. Accounting Analysis Journal 1. Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Dul Muid. (2009). “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas Laba”. Fokus Ekonomi Vol 4, 2. Semarang: UNDIP Semarang.
Duwi Priyatno, (2013). Mandiri
Belajar Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Mediakom.
Dwi Prastowo, (2011). Analisis
Laporan Keuangan Konsep dan Aplikasi (Edisi ke-3). Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Gideon Boediono. (2005). “Kualitas Laba : Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak
Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur”. Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo. Yogyakarta: Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran”.
Gujarati, Damodar N, (2006). Dasar-dasar
Ekonometrika (Jilid Satu Edisi ke-3). Jakarta: Erlangga.
Hall, James A, (2007). Sistem
Informasi Akuntansi (Buku Satu Edisi ke-14). Jakarta: Salemba Empat.
Horngren, Charles T dan Walter
T. Harrison, (2007). Akuntansi (Edisi
Ke-7). Jakarta: Erlangga.
Ikatan Akuntan Indonesia, (2012). Standar
Akuntansi Keuangan Per 1 Juni 2012. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi
Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia.
Imam Ghozali (2009). Analisis
Multivariate Lanjutan dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
J. Supranto, (2009). Statistik:
Teori dan Aplikasi (Jilid Dua Edisi ke-7). Jakarta: Erlangga.
Kieso, Donald E, Jerry J. Weygandt dan Terry D. Warfield, (2008). Akuntansi Intermediate (Jilid satu Edisi
ke-12). Jakarta: Erlangga.
Kuswadi, (2005). Meningkatkan
Laba melalui Pendekatan Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Biaya. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Ronny Kountur. (13 September 2013). Pengertian Risiko dalam
Operasional
Organisasi.http://manajemenppm.wordpress.com/2013/09/13/pengertian-risiko-dalam-operasional-organisasi/.
Sadono Sukirno, (2005). Mikro
Ekonomi Teori Pengantar (Edisi Ke-21). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sekaran, Uma (2006). Metodologi
Penelitian untuk Bisnis (Buku Dua Edisi ke-4). Jakarta: Salemba Empat.
Sensi Ludovicus. (2007). “Memahami Lebih Jauh Aspek Earnings Management, Financial Shenanigans,
dan Rekayasa Keuangan”. Economics
Business & Accounting Review Volume II No. 1. Jakarta: Ikatan Akuntan
Indonesia.
Singgih Santoso, (2008). Panduan
Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sofyan Yamin, Lien Rachmach dan Heri Kurniawan, (2011). Regresi dan Korelasi dalam Genggaman Anda.
Aplikasi dengan Software SPSS, EViews, Minitab dan Statgraphics. Jakarta:
Salemba Empat.
Song, Oky Marlina. (2012). “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Laba Perusahaan Perbankan Umum yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode
2008-2009”. Skripsi. Surabaya:
Universitas Pembangunan Nasional Veteran.
Sri Sulistyanto, (2008). Manajemen
Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Stice, Earl K, James D. Stice dan K. Field Skousen, (2004). Akuntansi Intermediate (Buku Satu Edisi
ke-15). Jakarta: Salemba Empat.
Syahrul Yura. (21 November 2002). Koran Tempo - Bapepam: Kasus Kimia
Farma Kesalahan Manajemen Lama. http://kumpulanberitalama.
blogspot.com/2013/04/korantempo-bapepam-kasus-kimia-farma.html.
Tim Penyusun, (2011). Pedoman
Penyusunan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UHAMKA.
Tuanakotta, Theodorus, (2007). Setengah
Abad Profesi Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.
, (2011). Berpikir Kritis dalam Auditing. Jakarta:
Salemba Empat.
Warren, Carl S, James W. Reeve dan Philip E. Fees, (2008). Pengantar Akuntansi (Buku satu Edisi
ke-21). Jakarta: Salemba Empat.
www.idx.co.id